Visitors

Rasanya saya pernah bertemu, sekitar 10 tahun lalu, tapi lupa entah di mana tepatnya.  Apakah di Pekanbaru, di Solo atau di Yogyakar...

Yang Bidah yang Menang


Rasanya saya pernah bertemu, sekitar 10 tahun lalu, tapi lupa entah di mana tepatnya. 

Apakah di Pekanbaru, di Solo atau di Yogyakarta, yang jelas dalam agenda diskusi fiksi, karena memang dia seorang sastrawan.

Dan pada 28 Juni lalu cerpennya terpilih sebagai salah satu dari dua cerpen terbaik Kompas 2018.

Raudal Tanjung Banua.

Pembaca bisa mengakses dengan mudah dan menikmati cerpen tersebut yang kini telah tersebar di dunia maya, cukup ketik di Google judulnya “Aroma Doa Bilal Jawad.”

Ringkas begini:

Seorang perantau bernama Kudal (serius ada huruf L-nya) suatu kali pulang kampung menyambut bulan puasa. Ia sangat bergembira sebab akan mengaminkan doa-doa menyambut bulan Ramadhan yang akan dipimpin oleh pendoa legendaris kampung yang bernama Bilal Jawad.

Saya yakin sekali kalau nama aslinya hanya Jawad tidak pakai Bilal, tetapi karena ia dipercaya sebagai Muadzin maka ditambahlah namanya. Sebab dulu semasa Nabi Bilal adalah nama sahabat yang dipercaya Rasul untuk mengumandangkan Azan. Tetapi tidak ada salahnya kalau ada kesempatan kita tanya penulis benar atau tidaknya.

Namun Kudal kecewa setelah mendengar kabar dari adiknya, “Sudah lama Pak Uwo tak memimpin doa.”

“Kenapa Begitu?”

“Kurasa ia masih kuat menggayuh sepeda…”

Gali punya gali ternyata setelah ustaz Baihaqi diangkat sebagai imam-khatib di kampung, Bilal Jawad tak diizinkan lagi memimpin doa dengan membakar Kemenyan.

Terbayanglah sama Kudal bahwa bertahun silam, ketika ia masih kecil, sekali waktu ia pernah diajak sama Bilal Jawad memenuhi undangan rumah warga kampung untuk berdoa menyambut bulan puasa. Memang dalam semalam bisa 3 sampai 5 rumah yang akan dikunjunginya.

Membaca cerpen ini juga mengingatkan saya pada memori 18 tahun silam. Saya masih sekolah di pesantren, namun kalau libur seringkali minta izin ke orang tua untuk barang beberapa hari mengunjungi rumah teman. Dan salah satu yang saya masih ingat adalah kampung Pawan di Pasir Pengaraian sana, bersama Taufik (kawan yang saya nginap di rumahnya) diundang mendoa menyambut pulan puasa itu beberapa rumah dalam sehari, dengan berbagai macam menu hidangan.

Kudal dan pak uwonya Bilal Jawad singgah dari rumah ke rumah. Setiap mendoa Bilal Jawad terlebih dahulu membakar Kemenyan yang disediakan tuan rumah, sepertinya tua rumah sudah mengerti dengan kebiasaan Bilal Jawad. Sebab kalau tuan rumah lupa menyiapkan maka Bilal serta merta mengeluarkan dari kantong bajunya.

Kemenyan dibakar, doa dipanjatkan.

Namun di satu rumah, rumah Baihaqi yang asalnya dari kota provinsi namun menikah dengan gadis kampung ia dilarang membakar kemenyan.

“...kami takut bidah, Engku.”

Demikian Baihaqi mengatakan ketika pendoa Bilal Jawad menyebut sekedar untuk harum-haruman.
Bagaimanapun cerpen sebagai karya fiksi, ia juga merupakan kritik sosial. Bukankah hari ini begitu mudah orang-orang memvonis bidah?

Sayangnya pada diskusi Hitam Putih Cerpen Pemenang Kompas 2018 yang ditaja Forum Lingkar Pena (FLP) pagi kemaren saya tidak bisa hadir.
(8 Juli 2019).


0 komentar: