Visitors

Wahidin bukan suami biasa. Istrinya pun, bukan istri biasa.  Putri dan putra mereka Nanda dan Dewa juga bukanlah anak-anak biasa. Mer...

Jalan Kaki ke Tanah Suci

Wahidin bukan suami biasa. Istrinya pun, bukan istri biasa. 

Putri dan putra mereka Nanda dan Dewa juga bukanlah anak-anak biasa.

Mereka adalah keluarga yang berjalan di bumi dengan semangat berpendar di langit.

Memulai perjalanan bersejarah jalan kaki dari Sambas Kalimantan Barat sejak 2016 lalu, baru pada tanggal 28 Mei 2020 kemaren sampai ke Siak, dan sekarang tengah perjanan ke Dumai, kabarnya mengurus paspor di sana.

Kelak mereka menyeberang ke Malaysia dan terus dan terus dan terus, dan terus, dan terus, dan terus hingga kelak tiba entah kapan tahunnnya di Tanah Suci Mekah al-Mukarramah.

Sebetulnya mereka bukan orang pertama kali yang berjalan kaki ke Mekah, tetapi berjalan sekeluarga dengan jarak tempuh lebih kurang 13 ribu km merekalah sepertinya.

Dulu ada Senad Hadzic dari Bosnia, menempuh perjalanan 5.700 km. Kharlzada Kasrat Rai dari Pakistan, 6.387 km. Rahmatullah Khan dari India, 7000 km. Ishak dari Spanyol, 9000 km. Termasuklah Khamim Setiawan dari Pekalongan Jawa Tengah, 12.724 km yang ditempuhnya.

Namun, sekali lagi harus kita katakan perjalanan lima orang itu sendirian saja. Maka bisa dipahami, bila dari Sambas sana Wahidin anak beranak memerlukan waktu 4 tahun untuk bisa sampai ke Riau, karena memang sama-sama mempertenggangkan kondisi fisik satu keluarga.

Dari kemaren saya coba mencari nomor kontak manusia hebat itu, namun hingga tulisan ini dimuat belum ketemu. Bisa jadi juga seperti kata wartawan Riau Pos Monang Lubis yang tulisannya gurih itu, "Sepertinya mereka tidak punya ponsel, sebab dari awal kami berbincang tidak ada satu pun di antara mereka berempat yang memegang atau bermain ponsel, baik itu android maupun Hp senter."

Pupuslah harapan saya untuk bisa menyelami mutiara jenis apa yang terpendam di hati mereka. Namun, dari cerita teman wartawan itu saja sudah cukup membasahi nurani.

"Mereka seperti malaikat, dengan melihat mereka Allah telah membuat saya sadar hidup adalah perjalan. Dan mereka telah melakukan hal yang benar. Mereka beribu-ribu langkah lebih dulu dari pada saya mendekat kepada Allah. Mereka adalah orang orang saleh."

Di suatu tempat pemberhentian, Reda bertanya pada ayahnya perihal kenapa mesti naik mobil dari Prancis ke Mekah, melewati Italia, Slovenia, Kroasia, Yugoslavia, Bulgaria, Turki, Suriah dan Yordania.

Ayahnya menjawab:

"Ketika air samudera menguap ke langit, air-air itu akan kehilangan rasa asinnya dan akan kembali murni. Itulah sebabnya lebih baik berangkat haji dengan berjalan kaki daripada menaiki kuda, lebih baik menaiki kuda daripada menggunakan mobil, lebih baik pakai mobil daripada kapal, dan lebih baik kapal dari pada naik pesawat terbang."

Namun cerita Reda dan ayahnya itu adalah film, film yang diprodukai pada tahun 2004 silam dengan judul "Le Grand Voyage." Dan sebaik-baiknya film tetap saja fiksi.

Kali ini tidak.

Perjalanan agung (Rihlatul Akbar) Wahidin dan anak istrinya bukan fiksi, nyata. Mereka akan menapaki Malaysia, Thailand, India, Pakistan, Yaman, dan kelak tiba di Arab Saudi. Amin, amin, amin. (Wamdi Jihadi)

0 komentar: