Namanya
Wawan Sudiro, seorang pustakawan yang di antara tugasnya adalah membersamai
mobil perpustakaan keliling. Dari satu sekolah ke sekolah yang lain, dari satu
taman bermain ke taman bermain berikutnya.
Namun
sore itu, tugas mengantarkannya ke tempat yang tidak pernah terbayang
sebelumnya, lokalisasi.
Di tempat
itulah tanpa disengaja ia bertemu dengan Kelly lengkapnya Putri Kelly teman
semasa SMP-nya dulu.
Perempuan sepantarannya itu yang dulu sempat mencuri hatinya terjebak
hutang untuk keperluan mengobati penyakit kanker Paru-paru ayahnya. Ayah
meninggal, hutang tak terbayar, maka inilah muara hidupnya, berada di tempat
laki-laki berhidung pelangi.
Bila
dulu Siti Nurbaya jatuh ke tangan Datuk Maringgih dalam pernikahan yang sah
walau pun tanpa ada cinta demi menebus hutang ayahnya, kejatuhan Kelly ke
tempat kotor ini lebih tragis lagi.
Di sana
juga ada Mawar, gadis dari tanah Jawa yang dijanjikan untuk dipekerjakan di
Malaysia, namun malang perusahaan penyalur tenaga kerja abal-abal telah
membelokkan nasibnya ke tempat yang sama.
Bahkan
dara yang bernama Damai pun terpental ke tempat yang tidak ada kedamaian dan
ketentramannya itu.
“Dari
mana aku mendapat uang sebanyak lima puluh juta?”
Tentu
saja Wawan yang hanya pegawai perpustakaan itu tidak bisa menjanjikan kebebasan
Kelly mendengar tebusan sebanyak itu.
Hari-hari
dan malam-malam berikutnya Wawan banyak memikirkan jalan untuk mengeluarkan ‘kekasih
sahabat’ nya itu. Ia coba datangi rumah orang tuanya Kelly. Ia beranikan juga
meminjam uang ke koperasi kantor, namun dewi Fortuna seperti dalam mitologi
Romawi belum berpihak kepadanya.
Singkat
cerita, dalam sebuah perjalanan Kelly mengalami kecelakaan dan ia pun
menghembuskan nafas terakhirnya.
Novel
yang berjudul “Jerat-jerat Lokalisasi” ini saya terima dari penulisnya beberapa
waktu lalu. Profesi D. Iskandar sebagai pegawai dari perpustakaan Soeman H.S
dengan segala kesibukannya tidak menghalangi dia untuk tetap berkarya dan
menerbitkan buku.
Bahkan
hari-harinya sebagai pustakawan dan pendongeng ia coba jadikan sebagai basis dari
karyanya tersebut. Dan menulis dengan modal pengalaman memang adalah cara
paling jitu untuk menolak mereka yang beranggapan bahwa tidak ada ide atau
ilham yang akan dituliskan.
Bravo
Pak Dadang.
(Wamdi)
(Wamdi)
0 komentar: