Hari ini, Sabtu 6 Juli 2019. Saya mengantarkan anak kedua Sulthonul
Hakim ke sekolah al-Qur’an. Tepat di usianya 4 tahun kurang sebulan sembilan
hari, karena pas-nya besok di tanggal 17 Agustus.
Sebetulnya tahun lalu ia sudah coba ikut-ikutan bersama abangnya
Amirul Mukminin yang memang sudah terdaftar di sana, namun yang namanya
ikut-ikutan kadang mau kadang tidak dan akhirnya mundur, berhenti total.
Semoga saja tidak untuk kali ini.
Begitu sampai di sekolah ia disambut oleh ibu-ibu gurunya yang
mereka panggil ustadzah, cium tangan, salam, dan sejenak berdada sebelum saya
tinggalkan.
Sekolah ini memang TK namun dengan sistem pengajaran Tabarak, namun
tiap kali ada yang bertanya TK di mana anak-anak? Saya menjawabnya TK al-Quran Al-Ihsan
Boarding School (IBS) atau sekolah Tabarak.
Pengambilan nama Tabarak ini sebenarnya berasal dari nama seorang
anak yang hafal al-Quran saat masih berusia 4,5 tahun di Mesir sana, anak
pertama dari pasangan Dr Kamil Al Boudy dan istrinya. Dan dua adiknya Yazid dan
Zaeenah pun berhasil menghafal kitab suci itu sebelum berusia 5 tahun.
Kini mereka sudah beranjak remaja, sementara sistem pengajaran dan
menghafal al-Quran itu melanglang buana dan diterapkan di berbagai belahan
dunia, termasuk di Indonesia. Beberapa kali Dr Kamil Al Boudy berkunjung ke
tanah air ini untuk memberikan pelatihan, sayangnya beberapa kali pula gagal kita
bawa ke Riau.
Dalam pelaksanaan metode ini di sekolah guru akan membacakan
ayat-ayat al-Quran secara berulang-ulang dan diikuti oleh anak-anak, sebab pengajaran
metode Tabarak ini bukan dengan melihat ayat yang dibaca, karena memang
anak-anak relatif belum mengenal huruf-huruf Hijaiyah.
Begitu pun di rumah, orang tua diharapkan memurojaah hafalan anak belasan
bahkan puluhan kali dalam sehari.
Memang, bila kita lihat paling tidak 10 tahun belakangan ini animo
masyarakat terhadap al-Quran kian meningkat. Sekolah-sekolah al-Quran berdiri
di banyak tempat, bahkan beberapa sekolah umum pun kini memiliki target capaian
al-Quran untuk para siswanya.
Dauroh al-Quran pun menjamur di segala musim, baik di bulan
Ramadhan atau pun di bulan-bulan lainnya dengan berbagai durasi dan tingkat
capaian. Ada yang 2 minggu, sebulan atau pun 40 hari, terlepas ada plus
minusnya di mata para pakar al-Quran.
Begitu pun apresiasi berbagai universitas dan perguruan tinggi, ada
yang memberikan beasiswa bertingkat kepada para penghafal al-Quran sesuai
jumlah hafalan, dan bahkan beasiswa penuh selama masa studi begitu dites dan
memang hafal 30 juz.
Seperti tak mau ketinggalan, media masa khususnya TV cekatan
membaca semangat kembalinya masyarakat kepada al-Quran itu, terlepas alasan
rating yang jelas tahun-tahun belakangan ini mulai ada acara-acara terkait seni
baca al-Quran atau Hafiz al-Quran. Kita sebut misalnya Annisa dan Humaira dua
putri dari Bengkalis yang pada Ramadhan lalu menjadi yang terbaik pada acara
Hafidz Indonesia 2019 yang diselenggarakan oleh salah satu TV Nasional.
Di sekolah Tabarak juga disediakan susu kambing murni.
Di rumah saya dan istri menyiapkan kurma dan madu.
Susu, kurma dan madu adalah 3 hal yang menurut penemu metode
tabarak tersebut harus menjadi asupan bagi anak-anak penghafal al-Quran.
Belum lagi audio atau speaker al-Quran yang harus terus disetel
murattal bacaan al-Quran sepanjang siang dan malam.
Kalau begitu sudah berapa juz Amirul Mukminin abangnya Sulthonul
Hakim hafal al-Quran?
Masih terus diperjuangkan.
Terutama memperjuangkan semangat saya dan istri untuk konsisten
dalam niat besar ini. (Wamdi)
0 komentar: