Belakangan
setelah saya menulis satu buku biografi barulah saya peroleh sebuah buku yang
menceritakan bagaimana strategi terbaik untuk menulis biografi, “The Secret of
Biografhy; Rahasia Menulis Biografi Ala Ramadhan K.H.” Buku tersebut dipinjamkan
seorang sahabat Muflih Helmi atau Alam Terkembang yang sekarang sebagai Ketua
Forum Lingkar Pena (FLP) Riau.
Tetapi
tidak terlalu buruk buku sebelumnya yang saya tulis itu, justeru dengan buku
Zulfikar Fuad tersebut yang menceritakan gurunya sang Maestro biografi
Indonesia Ramadhan K.H saya seperti menemukan teori-teori penulisan biografi
yang sesungguhnya telah pernah saya jalankan sebagian besarnya.
Misalnya
penulis buku menyampaikan bahwa seorang penulis biografi hendaknya mewawancarai
tokoh secara mendalam, detail dan tuntas, maka boleh dikatakan tokoh yang saya
tulis menceritakan sejarah hidupnya secara rinci, bahkan perkiraan saya ada
bagian kisah hidupnya yang kepada anaknya pun tidak dia ceritakan.
“Buatlah
pembaca terpikat dari awal hingga akhir,” nah mungkin perihal inilah
yang harus saya belajar lebih banyak lagi, harus membaca lebih banyak, harus
menulis lebih banyak. Sebab dengan ‘jam terbang’ yang makin sering tulisan akan
semakin membaik kian hari. Di buku memang saya mencoba tidak sekedar memuat
data-data tanpa makna, “Sebab buku biografi” kata Elbarthiene Endah yang juga
penulis biografi ternama dewasa ini “Bukanlah memperpanjang curriculum vitae
(cv).”
Maka
terkadang di bab-bab tertentu saya mengawali dengan kata-kata motivasi, puisi
atau cerita narasi, contohnya “Nyak
telah mengawinkan aku dengan perjuangan ini,” demikian Gambang menerangkan pada
ibunya kenapa ia belum mau menikah seperti digambarkan oleh sutradara Eros
Djarot dalam film Tjoet Nja' Dhien. Tetapi pejuang Aceh itu dengan tegas
mengatakan pada putri semata wayangnya itu “Berumah tangga dan berjuang,
kedua-duanya sama-sama penting.” Bagian ini saya masukkan untuk membuka bab
pernikahan dari sang tokoh.
Menulis
biografi itu banyak manfaat yang bisa kita petik, di antaranya; pengalaman
hidup sang tokoh yang bercerita apa adanya, baik dan buruknya. Sebagai penulis
kita juga tidak perlu memikirkan biaya percetakan buku, sebab umunya ditanggung
oleh tokoh atau lembaga yang meminta kita untuk menuliskan buku tersebut. Karena
interaksi kita yang sering, bahkan terkadang tidak mengenal waktu maka kita
seperti sudah menjadi keluarga dekat dengan tokoh, saya bahkan pernah selesai
menulis wawancara sambil menulis hingga pukul dua dini hari. Dan tentunya jerih
payah usaha kita akan diganjar sepantasnya, walaupun itu tidak boleh menjadi
motivasi utama kita, sebab begitu sebuah buku biografi selesai kita tulis maka
kita telah menyelamat kepingan-kepingan sejarah.
“Tanpa
cerita” kata Zulfikar Fuad pada prolog bukunya, “Manusia hanya seonggok tanah.”
Baca Juga:
0 komentar: