Dalam
satu seminar beberapa tahun silam yang salah satu pembicaranya adalah Dr.
Chaidir ia bercerita bahwa salah satu buku yang menginspirasinya adalah buku “The
True Life of Habibie; Cerita Dibalik Kesuksesan” karya A. Makmur Makka, maka
seusai seminar buku itu segera saya buru.
Di
waktu lain saya meng-copy buku milik seorang teman aktivis kampus Edy
Syahrizal yang di kos-kosannya menjulang buku “Pribadi dan Martabat Buya Hamka”
karya Rusydi Hamka.
“Isparta,
Sanliurfa, Kayseri” inilah 3 Provinsi di Turki yang saya sebutkan untuk
menjawab pertanyaan Habiburrahman El Shirazy pada sebuah acara bedah buku “Api
Tauhid” beberapa waktu lalu. Dan jawaban yang betul tersebut diganjarnya dengan
sebuah novel biografi Badiuzzaman Said Nursi tersebut.
Membaca
buku biografi seperti menyaksikan arus dari sungai kehidupan seseorang, di sana
ada kejernihan dan kebeningan, ada ketenangan, terkadang juga riak gelombang, bahkan
kekeruhan. Namun, sejak dari hulu perjalanan ia terus mengalir, sampai akhirnya
bermuara di lautan lepas.
Membaca
buku biografi adalah membaca hulu dari kehidupan seseorang, membaca jalan yang
berbelok dan berliku, membaca naik dan turunnya nasib. Dan dengan demikian kita
tidak akan terkejut dengan hilir, apakah dengan kekeruhannya atau dengan
kejernihannya.
“Tidak
pernah terbersit dalam pikiran, bahwa di dalam rentang masa hidup, aku akan
menjadi Ibu Negara, mendampingi suami yang menjadi Presiden RI keenam.”
Demikian Kristiani Herrawati atau ibu Ani Yudhoyono menceritakan hilir kehidupannya
dalam buku “Kepak Sayap Putri Prajurit” yang ditulis oleh Elberthiene Endah.
Kehidupan yang tidak tergambar sebelumnya karena kehidupan hulu rumah tangga
mereka hanya tinggal di kompleks tentara yang sangat sederhana.
Sementara
bu Ainun menggambarkan kehidupan hulu rumah tangga mereka di Jerman dalam Habibie
dan Ainun yang ditulis oleh suaminya, “Kemana-mana naik bis, malah karena
kekurangan uang untuk membeli kartu langganan bulanan, dua tiga kali seminggu
ia (Habibie) jalan kaki mengambil jalan pintas sejauh limabelas kilometer.
Sepatunya berlobang-lobang, hingga baru menjelang musim dingin lobangnya
ditambal.”
Sebagai
penulis buku biografi Nurchalish Madjid (Gus Nur) Ahmad Gaus AF melukiskan juga
kehidupan hulu dari sang aktivis itu, “Kehidupan sederhana membuat Nurcholis
Madjid dan Omi (istrinya) tidak terlalu risau dengan uang. Tetapi, persoalannya
berbeda ketika Nadia sakit. Saat itu usianya belum genap satu tahun. Sudah dua
hari badannya panas, dan mereka tidak punya uang untuk membawanya ke dokter.
Omi mengumpulkan botol dan koran bekas. Lalu ia menjualnya, “Uangnya untuk
berobat, kalau ada sisanya untuk beli telor buat Nadia.”
Mari
membaca buku biografi, lalu letakkan pilihan
0 komentar: