Pertama
kali mendengar namanya saya agak asing, apalagi dengan pelafalan seorang nenek lewat
komunikasi telepon genggam pula. Maka saya save-lah nomornya dengan
penulisan “W. Laila” dengan menggunakan titik, mungkin huruf “W” itu adalah
singkatan pikir saya waktu itu. Dan ternyata salah, penulisan yang betul adalah
“Wilaela.”
Dari
nomor Hp yang saya terima saya coba mengirimkan pesan terlebih dahulu via Whatsapp,
urusan tidak banyak hanya persolan buku yang akan diterbitkan dan beliau
menurut tokoh yang saya tulis biografinya bersedia membaca dan memberikan
catatan apa kekurangan buku sebelum diterbitkan dengan jumlah yang lebih
banyak.
Beliau
balas dengan menyatakan bahwa sebagian isi buku telah dibaca, beliau kirimkan
alamat dan kita sepakat bahwa esoknya harinya saya akan bertamu ke rumahnya
untuk menerima apa saja catatan dari kecacatan buku tersebut.
Namun,
hanya berselang 5 jam kemudian beliau mengirimkan pesan bahwa sebagian besar
isi buku telah tuntas dibacanya, dan katanya, sekali lagi katanya isi buku dan
cara penulisannya sangat bagus, “Penyajiannya lebih mirip dengan biografi Hj.
Rosnaniar Dari kuok ke Senayan karya Jarir Amrun.” Dalam hati saya mengucapkan
Hamdalah.
Akhirnya
kita sepakati bahwa perbaikan sedikit yang ditemuinya kita komunikasikan lewat
telepon saja, “Jadi semacam ‘bimbingan tesis jarak jauh.’ Wamdi pegang bukunya
di seberang sana, saya tingga menyebutkan halamannya, paragraf atau barisnya
untuk klarifikasi. Sebenarnya bisa saya WA koreksiannya, tapi mungkin tidak
sejelas kalau bicara.”
Saya
yang masih dalam perjalanan dari Rokan Hulu ke Pekanbaru meng-oke-kan dan
tentunya sangat siap, sebab bila ada seorang akademisi yang sangat sibuk dan sempat-sempatnya
memberikan masukan pada karya kita maka itu adalah sesuatu yang sangat berharga
tentunya.
Maka
malam itu selepas Sholat Isya saya dengarkanlah berbagai masukan yang beliau
sampaikan, sambil sesekali saya klarifikasi apa maksud sebenarnya tokoh yang
saya tulis sehingga muncul terkadang kalimat-kalimat yang asing atau jalan cerita
yang terkesan melompat. Sebagai pakar sejarah beliau sangat menguasai
istilah-istilah pada zaman Kolonial, seperti misalnya penulisan “Meses” untuk
salah satu tingkatan pendidikan yang harusnya ditulis “Meisjes” dalam bahasa
Belanda.
Dan
beberapa hari yang lalu ketika melihat jadwal perkuliahan saya melihat satu
nama yang sudah familiar pengucapannya tetapi tidak dengan penulisannya, dan
nama itu adalah ibu Doktor Wilaela tersebut.
Tadi
pagi sebelum pertemuan perdana dimulai saya sempatkan menemuinya terlebih
dahulu untuk menyerahkan buku “Manusia Sejarah” pada Doktor Sejarah.”
“Akhirnya
kita ketemu juga ya!” kelakarnya.
Baca Juga:
Sering Tidur Bersama Buku
Baca Juga:
Sering Tidur Bersama Buku
0 komentar: