“Begitu
juga dengan budaya membaca dan menulis, beliau selalu membaca dan menulis
setiap terbangun di malam hari, dan sering dijumpai beliau tidur memegang pena
dan buku menutup mukanya, bahkan tak jarang pena yang dipegang mencoret buku
yang dibaca dan sepray tempat tidur.”
Penggalan
kalimat di atas adalah apa yang ditulis oleh Dr.Ir. Nurmatias, M.Si ketika
menggambarkan sosok seorang Prof. Dr. Muchtar, M.Sc Ahmad dalam buku Muchtar
Ahmad Sang pionir yang ditulis oleh Muhammad Amin. Dan pada bagian dua buku
ini diselipkanlah Bunga Rampai semacam testimoni dan kesan dari berbagai
kolega yang profesor tersebut.
Muchtar
Ahmad, lahir di Muara Rumbai pada tahun di mana Bung Karno dan Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari keluarga yang miskin. Ayahnya yang
bernama Ahmad menghidupi keluarga dengan cara berladang dan menjual makanan ke
pasar sekali sepekan. Sementara ibunya Latifah membuka usaha menjahit di rumah.
Sehingga di antara pekerjaan masa kecil Muchtar Ahmad kala itu adalah memasang
kancing baju-baju jahitan ibunya.
Tetapi
terlahir dari keluarga miskin bukan berarti rintangan baginya untuk mengurangi
kadar impian atau cita-cita. Ia mengawali Sekolah Dasar (SD) di kampung
halamannya, Muara Rumbai. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama
(SMP) di Pasir Pengaraian. Sementara untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan Perguruan Tinggi Muchtar Ahmad mesti pergi ke ibu kota Provinsi, Pekanbaru.
Semasa itu belum ada transportasi umum, sehingga Muchtar Ahmad mesti mengayuh
sepeda sejauh 200 Km.
Sebelum
sempat menyelesaikan strata satu di Universitas Riau (UR) Muchtar Ahmad
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya ke Jepang melalui beasiswa
Monbusho. Dan di negeri Sakura inilah beliau menempa diri dengan dunia Akademis
– yang nanti banyak mempengaruhi cara beliau juga dalam mengajar mahasiswanya –
yang sangat disiplin, terlibat dalam berbagai penelitian, dan tentunya bersahabat
karib dengan budaya baca tulis.
“Sudah
berapa buku yang anda baca hingga selesai dalam pekan ini? apa judulnya?
Bagaimana kesimpulannya?” demikian buku biografi ini menceritakan tradisi
akademik di Jepang sana yang sangat jauh dari perbincangan seputar pakaian
baru, gadget, proyek, dan gaya hidup rendahan lainnya.
Tumbuh
dalam suasana seperti itu tentu saja akan memacu siapa saja untuk memprioritas
buku sebagai kebutuhan harian, termasuk Muchtar Ahmad. Maka beasiswa yang
setiap bulan diperolehnya tidak pernah alpa dari menyisihkannya untuk pembelian
buku. Bahkan ketika ada bazar buku di taman kota Kanda setiap tahunnya pada
musim gugur yang diskonnya mencapai 30
persen, Muchtar Ahmad membeli banyak buku, termasuk eksiklopedi yang
berjilid-jilid.
0 komentar: