“Barangkali,
Pak, suatu saat nanti Anda akan datang kembali membawa buku-buku.”
Demikianlah
Kepala Sekolah Bahundanda Nepal Rajeev menyampaikan harapannya pada lelaki 35
tahunan itu terkait perpustakaan sekolahnya. Dan kalimat sederhana itu menurut
John Wood mampu membuatnya tidak bisa tidur bermalam-malam. Kalimat itu jugalah
yang menggugah hatinya untuk menghabiskan uang dalam jumlah yang sangat besar.
Dan bahkan kalimat itu kelak mampu mengubah haluan hidupnya.
Namanya
John Wood, lahir di Hartford ibu kota negara bagian Connecticut
Amerika Serikat. Tumbuh dan besar dalam keluarga yang sangat mencintai buku.
Neneknya seringkali menghadiahkan beberapa buah buku, bahkan ibunya Carolyn
juga aktif di salah satu klub buku dan tiap malam membacakan cerita sebagai
pengantar tidur. “Jika kamu punya buku bagus di tanganmu, kamu tidak akan
pernah kesepian,” nasehat ibunya yang selalu diingat.
Lingkungan yang sedemikian
mendukung dalam masa pertumbuhannya betul-betul menjadikan dia seorang yang
gila membaca dan kutu buku (a bookworm). Sekali seminggu dia akan mengayuh
sepedanya menuju Spalding Memorial Library sejauh 10 Km. Dan dari perpustakaan
tersebutlah dia dapat membawa 8 buah buku setiap peminjaman. “Hanya ada satu
masalah,” katanya, “Jumlah buku yang ingin saya baca melebihi batas jumlah
peminjaman.” Dan perihal itulah yang coba diadukannya pada bu Tidlow si penjaga
perpustakaan yang telah kenal baik dengannya. Maka setelah dipertimbangkan
akhirnya dia diperbolehkan membawa 12 buah buku setiap kali peminjaman,
walaupun kebolehan itu hanya rahasia mereka berdua.
Waktu berjalan, tahun pun
berganti, generasi datang dan pergi. Bertahun kemudian, tepatnya tahun 1998
John Wood yang sudah bekerja di Microsoft berlibur di Nepal, di perbukitan Annapurna Himalaya, dan ia singgah
di sebuah desa bernama Bahundanda. Bersama Pasupathi, salah seorang
pegawai sumberdaya daerah untuk Departemen Pendidikan Provinsi Lamjung ia
diajak mengunjungi sebuah sekolah yang sangat menyedihkan kondisinya. Ruang
kelas kecil yang tidak ada mejanya, diisi oleh 50 orang siswa, berlantai tanah
dan bila musim hujan tentunya berlumpur.
Kemudian kepala sekolah, Rajeev mengajaknya
melihat perpustakaan di sebelah. Sayangnya hanya ada tulisan perpustakaan tanpa
rak, tanpa buku. Ada sebuah lemari kecil, dan setelah dibuka hanya ada beberapa
buah buku, “Beberapa penjelajah yang pernah melewati desa kami telah
meninggalkan buku-buku untuk kami.”
Peristiwa itu kemudian merubah arah
kehidupannya. Setahun kemudian, setelah berdiskusi dengan keluarganya, maka dia
mengambil keputusan penting, yaitu berhenti dari pekerjaannya sebagai eksekutif
di perusahaan Microsoft. Dan mulai saat itu mulai melibatkan dirinya dalam
agenda filantropi dengan nama Room to Read.
Dengan mengumpulkan donasi dari berbagai pihak
ia kemudian mendirikan banyak perpustakaan di berbagai negara; Nepal,
Srilangka, Vietnam, Laos, India, Afrika Selatan, Kamboja, Bangladesh, Zambia,
Tanzania dan termasuk di Indonesia. Belakangan Room to Read tidak hanya
membangun perpustakaan tetapi juga sekolah.
"Aku mulai berjalan sendirian ke arah
tujuan, dan menuju impianku. Orang-orang bergabung di sepanjang jalan, dan kami
menjadi satu kafilah"
BACA JUGA:
Perpustakaan Masjid Raudhotul Jannah
Perpustakaan Masjid Raudhotul Jannah
0 komentar: