Visitors

“Ke depannya saya tidak akan membeli kitab atau buku berbahasa Arab lagi, sebab tidak ada dari   anak-anak saya yang bisa membacanya.” Ma...

Warisan Buku

“Ke depannya saya tidak akan membeli kitab atau buku berbahasa Arab lagi, sebab tidak ada dari  anak-anak saya yang bisa membacanya.” Masih terngiang apa yang disampaikan oleh salah seorang dosen beberapa tahun lalu ketika belajar di rumahnya.

Paling tidak saya kira ada dua yang membayang-bayanginya; pertama anak-anaknya tidak bisa membaca kitab tersebut sehingga percuma menambah koleksi, karena tidak bisa diwariskan dengan pewarisan yang berfaedah. Kedua, sebab warisan tidak bermakna, maka kitab atau buku-buku Arab tersebut hanya akan menyusahkan ahli waris untuk menjaganya. Dan kalau pun dijaga tentu tidak seperti ayah mereka yang merawatnya dengan hati, penuh kecintaan.

Memang mewariskan buku tidaklah seperti mewariskan rumah, tanah, perusahaan dan barang barang berharga lainnya yang bisa serta merta dipakai dengan nyaman, disewa atau dijual sehingga menghasilkan keuntungan finansial berlipat ganda. Buku adalah warisan intelektual, ia adalah jati diri seseorang, dan mereka yang tidak pernah masuk ke ruang itu dengan hati, cinta, bahkan kegilaan tidak akan pernah tahu betapa berharga sebuah buku.

Pada September 2015 lalu majalah Tempo menurunkan liputan terkait penjualan buku warisan para tokoh dari berbagai disiplin keilmuan di tanah air ini. Secara terang-terangan bahkan Tempo menyebutkan bahwa penjual buku tersebut mendapatkannya dari pihak keluarga. “Pas saya ke situ beberapa tahun lalu, saya kaget ada ratusan buku koleksi pak Wiratmo Soekito. Kok, bisa dijual ke tukang loak. Ya, sudah, saya kasih uang lebih supaya si penjual enggak nawar macam-macam lagi. Langsung saya ambil semua.” Demikian Tempo menuliskan kekagetan Jose Rizal Manua yang menemukan buku pengamat budaya, teater dan politik luar negeri itu di toko buku bekas, Terminal Pasar Senen, Jakarta Pusat.

“Bagaimana nasib buku-buku intelektual lain yang juga telah almarhum?” Sindir Tempo menyesalkan perihal tidak terjadinya pewarisan buku secara sehat tersebut. Kita tentu bisa bayangkan, bila buku bekas tersebut tidak laku, maka alamatlah akan dijual kiloan dan bisa jadi akan didaur ulang kembali. Dan kalau itu sampai terjadi, buku tersebut jumlahnya juga terbatas (kalau tidak ingin menyebutkan satu-satunya) maka kita kehilangan kepingan sejarah penting dari karya dan penjagaan intelektual umat manusia yang pernah ada.

Maka, mewariskan buku tidaklah sama seperti mewariskan harta benda yang lainnya. Bila harta benda yang lain tepat kita wariskan pada anak-cucu biologis, maka buku hanya akan tepat bila diwariskan pada anak-cucuk idiologis. Sukur-sukur bila anak-cucu biologis juga adalah anak-cucu idiologis. Tetapi bila tidak, maka mewariskan buku pada mereka hanya akan menyerahkan pada tukang jagal, dan akan berbuah penyelasan bagi sejarah kemanusiaan.

“Jangan Ayah, saya tidak mau ambil buku Ayah dari atas (ruang perpustakaan Ayah). Buku-buku Ayah tidak boleh kami jual. Masih banyak barang lain yang bisa kami jual kalau memang diperlukan.” Jawaban yang tegas sekali dari Meutia Farida Hatta ketika ayahnya menyarankan untuk menjual bukunya kelak ketiaka ia telah wafat dan uang pensiunannya tidak mencukupi buat kebutuhan hidup.

Baca Juga:

2 komentar:

  1. Sederhana dan mendalam. Mantab, Ustad.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Lebih mantap lagi tentunya Cikgu yang bukunya sudah terbit. Makasih Vita

      Hapus