![]() |
Foto from internet |
Soalan
ini sudah setingkat atau mungkin juga bertingkat-tingkat lebih tinggi dari
perkara yang sering kita perbincangkan, apalagi kalau bukan perihal minat baca
yang masih harus terus diperjuangkan. Sebab, bagi para penulis membaca itu
adalah nutrisi bagi tumbuh kembangnya bayi-bayi pikiran.
Tapi
penting menurut saya diangkat, sebab seringkali para pemula yang akan memasuki
dunia tulis menulis bertanya dengan pertanyaan yang berharap menjadi pengusir
bagi hantu-hantu yang berumah di kepalanya. Pertanyaan seperti, “Bukankah kalau
kita membaca seringkali bahan bacaan itulah yang membayang-bayangi tulisan
kita? Sehingga diksinya, setingnya, bahkan karakter tokohnya pun terbawa-bawa
pada buku atau tulisan yang hendak kita lahirkan.”
Saya
paham, ketakutan seperti itu biasanya muncul dari mereka yang baru sedikit
membaca dan lebih sedikit lagi menulis. Ketahuan sedikitnya membaca sebab
terbayang-bayang yang sedikit itu, yang tidak mungkin terjadi pada mereka
dengan bahan bacaan yang sudah meluas. Sementara ketahuan lebih sedikit lagi
menulis adalah dari sedikitnya membaca. Dan kalau pun ia katanya sudah menulis
banyak hal, maka bisa jadi tulisan itu berpusar pada bahasan yang sama saja.
Maka,
takut berkarya karena tidak memiliki gagasan baru dan khawatir disebut meniru
karya lain atau epigon adalah pertanda yang kembali memperkuat sedikitnya bahan
bacaan. Dan ini menjadi bukti berikutnya bahwa orang tersebut adalah pembaca
tekstual dan pastinya malas menganalisa atau sepertinya enggan mencari
sudut-sudut lain yang belum digali oleh penulis-penulis sebelumnya.
Baik,
kita tinggalkan mereka yang baru mau akan melangkah itu. Sekarang apa
pentingnya membaca bagi para penulis?
Pertama, membaca itu memperkaya perspektif. Manusia itu makhluk yang unik,
jangan pernah kita berfikir bahwa sepertinya semua tema atau bahasan sudah
ditulis oleh orang lain, tidak. Membaca sebanyak apa pun buku justeru nanti
akan membuka pintu-pintu pikiran kita untuk melihat perspektif yang berbeda,
yang boleh jadi itu belum disentuh oleh penulis lainnya. “Untuk menulis satu
artikel,” kata Marhalim Zaini pada suatu pertemuan, “Minimal bacalah sepuluh
artikel lainnya. Untuk menulis satu novel, sekurangnya bacalah sepuluh novel
lainnya. Dan begitu seterusnya dalam berbagai genre tulisan.”
Kedua, membaca itu mendekteksi gaya penulisan (The style of writing). Pernahkah
kita membaca satu tulisan atau buku, lalu nurani kita bicara bahwa tulisan atau
buku ini sepertinya tidak ditulis oleh si-A. Sebaliknya di waktu berbeda kita
bertemu dengan satu tulisan tanpa melihat nama penulisnya terlebih dahulu,
tetapi hati kita tiba-tiba berdetak bahwa dialah penulisnya. Tidak lain tidak
bukan itulah gaya kepenulisan yang sudah menemukan tuannya. Tulisannya Buya
Syafii Maarif berbeda style-nya dengan tulisannya Rhenal Kasali, berbeda lagi
dengan Anis Matta, Goenawan Mohamad, Dahlan Iskan, dan begitu pun dengan
penulis kawakan lainnya. Masing-masing mata pena mereka diasah dengan cara
berbeda, dan dengan ketajaman yang tidak sama.
Ketiga, membaca itu memperkaya diksi. Menulis adalah seni membawa orang
pada jiwa penulisnya (pada apa yang dimaksud). Dan diksi yang tepat adalah
jalan-jalan yang menarik untuk terus ditelusuri hingga ke ujungnya. Maka
hilangkan polisi tidur yang merintangi jalan, taburi dan tanamilah bunga di
kiri kanannya. Itu sebabnya, hampir semua orang menikmati karya-karya fiksi, tetapi
tidak demikian halnya dengan karya non fiksi. Bila fiksi ditulis dengan hati
dan kekayaan diksi, maka non fiksi ditulis dengan beragam teori dan sekarat
diksi.
Untuk
dimuat sekali saja di koran Kompas tahun-tahun itu Joni Ariadinata harus
menulis dan mengirimkan terus tulisannya hingga lebih kurang lima ratus cerita
pendek. Pekerjaannya sebagai tukang becak yang pulang sore hari tidak
menghalanginya untuk segera meminjam buku ke perpustakaan dan menamatkannya
setiap malam. Membacalah, menulislah.
Baca Juga:
Warisan Buku
Warisan Buku
0 komentar: