Visitors

Aulia Putri Rasyidi, angkatan ke-3 di IBS, tetapi angkatan pertama bagi saya, sebab tahun itu (2012) tahun pertama bagi saya di pesantren...

One of My Students

Aulia Putri Rasyidi, angkatan ke-3 di IBS, tetapi angkatan pertama bagi saya, sebab tahun itu (2012) tahun pertama bagi saya di pesantren dan diketemukan atau diminta mengajar di kelas 2, dan itu kelas mereka.

Ada dua kelas akhwat masa itu, tetapi saya lupa sudah namanya. Begitu pun dengan Rasyidi, ya I call her Rasyidi, tidak ingat lagi di kelas mana satu beliau.

Rasyidi, saya biasanya memanggil santri yang namanya terdiri dari beberapa suku kata dengan potongan terakhirnya, termasuk yang satu ini. Apalagi di angkatan yang sama ada putri yang lain. Tidak terlalu menonjol di kelas karakternya, di mata saya agak pendiam, tetapi orangnya suka membaca.

Sekitar dua bulan yang lalu beberapa teman seangkatannya datang menemui saya dengan niat mulia dan bertanya pendapat bagaimana kalau dilakukan munasaroh, tentunya saya dukung mereka melakukannya, baik di pesantren maupun jaringan di luar sana. Kata nabi "Orang mukmin itu seperti satu batang tubuh yang saling menguatka"

Tetapi usaha di tangan kita, sementara keputusan di tangan-Nya.

Selepas asar saya buka grup alumni yang kelihatannya ramai chat-nya. Terkejut membaca berita bahwa sang mujahidah itu telah pergi, bahkan untuk memastikannya saya japri temannya untuk memastikan. Dan kabar itu benar adanya.

Sekita saya japri pak Kiyai mengabarkannya, karena biasanya terkait alumni pasti tanyanya ke saya dulu.

Dan sore itu, hampir magrib bertolaklah beberapa ustadz dan ustadzah ke Siak sana. Ada beberapa alumni yang menelpon (bahkan di sepanjang jalan). Alhamdulillah sesampai di tempat di antara mereka sudah ada di sana.

Malam itu selepas isya, ketika mobil merapat di rumah duka ada sesuatu yang memuncah di dada. Kotak jenazah telah dimasukkan ke ambulan yang segera meluncur ke masjid untuk disholatkan. Ramai sangat masyarakat yang sudah berkumpul di sana, ini bermakna bahwa mujahidah ini berasal dari keluarga yang tidak tumbuh bagi dirinya sendiri, tetapi menebarkan manfaat ke sekitarnya.

Maka perjalanan di lanjutkan ke masjid yang terletak di belakang rumah, namun dengan jalan memutar. Mobil yang sudah di parkir agak lama memutarnya, akhirnya menumpanglah saya ke pengendara motor yang juga menuju ke sana. Alhamdulillah, terkejar ke masjid di saat imam takbir pertama.

Rasanya tidak kurang dari 200 orang yang menyolatkannya, bahkan bisa lebih. Selepas sholat imamnya mendoa dan kemudian menyampaikan bahwa kita menjadi saksi bahwa almarhumah wafat dalam kondisi Khusnul Khotimah.

Selanjutnya berangkat ke pekuburan saya pun menumpang di motor yang berbeda, niat ingin lekas sampai di lokasi dan bisa melakukan yang bisa dilakukan. Di tambah para ustadz dan ustadzah yang satu mobil tidak terlihat lagi di tengah kerumunan.

Sekali lagi Alhamdulillah, sampai di sana sebelum ambulan tiba. Lebih ramai lagi yang sudah menunggu di sekitar pemakaman. Dan tibalah jenazah mujahidah itu di tempat, saya salami ayahnya yang dituntun, kemudian saya ikut mengangkat kerandanya hingga ke tepi lubang kuburan.

Terdengar isak tangis melepaskannya, saya pun agak tertahan. Wajahnya masih jelas terbayang, apalagi tahun-tahun di pesantren adalah tahun-tahun membersamai mereka. Membisikkan bahwa masa depan umat ini di tangan Islam, karna itu optimis dan jadilah pejuang. Bangun lebih cepat, membaca dan belajar lebih giat, menghafal Al-Quran dan terlibatlah pada agenda-agenda yang menjaga kebugaran. Karena zaman ini membutuhkan perbaikan berlipat, sebab kerusakan telah meruyak ke mana-mana.

Jenazah pun perlahan di turunkan, disambut ayahnya yang menunggu di dalam. Hening, tetapi riuh di dada-dada pelayat menahan haru. Kemudian mulailah ditimbun, saya pun mengawai salah satu cangkul dan ikut menarik tanah perlahan.

Sesaat kemudian proses penimbunan selesai, papan nisan sementara ditancapkan dan talqin serta doa dilantunkan. Menangis ustadz yang membaca, hadirin pun hanyut.

Terakhir sempat saya bertanya pada beberapa alumni akhwat tentang siapa saja yang temannya datang. Dan sebelum bergerak pergi saya sempatkan melap papan nisan yang tulisan namanya tertutup sedikit tanah.

"أنا قد علمتها خمس سنوات. إن شاء الله أنها شهيدة"

Kata-kata ini sempat saya ucapkan ketika kembali bersalaman dan berpelukan dengan ayahnya"

0 komentar: