Visitors

“Suatu siang kami melihatnya di jalan setapak, menenteng tas koper. Ia memandang balik ke pondok yang roboh, melambai ke kami, dan berjal...

Rumah Bibliomania

Hasil gambar untuk rumah kertas
“Suatu siang kami melihatnya di jalan setapak, menenteng tas koper. Ia memandang balik ke pondok yang roboh, melambai ke kami, dan berjalan pergi ke bawah terik Matahari. Ia tak pernah kembali.” Demikian para nelayan di pantai Rocha La Paloma Uruguay sana menceritakan si gila buku itu (tanpa tanda petik).

Namanya Carlos Brauer, ia seorang bibliofil (pecinta buku) bahkan lebih tepatnya mungkin bibliomania (penggila buku). Koleksi di rumahnya lebih dari 20 ribu buah buku, tidak hanya lagi tersimpan rapi di rak ruang tamu yang menjuluk plafon, tetapi telah menjalar ke kamar tidur, tangga naik ke loteng, dapur, dan bahkan kamar mandinya.

“Kamar mandinya berisi buku di tiap dindingnya, kecuali di dinding tempat pancuran air, dan buku-bukunya tak sampai rusak hanya karena ia berhenti mandi air hangat buat mencegah uap. Mau musim panas atau musim dingin, ia selalu mandi air dingin.” Ujar temannya Delgado – yang juga seorang kutu buku – menceritakan teman karibnya itu.

Carlos Brauer yang bekerja di Kementrian Luar Negeri itu memilih pensiun dini hanya untuk membersamai buku-buku di perpustakaan pribadinya siang malam. Dan tiap kali ia membaca buku ia selalu memberikan garis, catatan dengan beragam warna di buku-bukunya tersebut, katanya “Aku sanggamai tiap-tiap buku, dan kalau belum ada bekasnya, berarti belum orgasme.”

Sampai pada satu titik kegilaan mengantarkannya untuk memberikan mobil pada temannya hanya karena ia ingin mengisi garasi dengan buku-buku. Tetapi sayang, suatu malam lilin membakar kartu indeks buku-bukunya setelah sekian bulan ia klasifikasi. Bahkan cara dia menyusun buku-buku itu sangat manusiawi, bukan seperti umumnya di perpustakaan yang mengkelompokkan buku-buku berdasarkan tema, tetapi ia menyusunnya sebab kekrabatan dan relasi para penulis. Seperti bukunya Shakespeare yang tidak mungkin berdekatan dengan bukunya Marlowe, sebab dulu mereka saling tuding penjiplakan.

Kesedihan mendalam pada peristiwa terbakar indeks buku-bukunya itu akhirnya melahirkan keputusan untuk menjual rumahnya dan pergi membawa buku-bukunya menuju ke sebuah pantai di Rocha La paloma. Dan sesampainya di sana ia meminta tukang bangunan membangunkan rumah untuknya di tepi pantai dengan bahan buku-bukunya dilapisi dengan semen dan itulah mengganti batu batanya. Ia berpikir bahwa dengan cara itulah buku-bukunya akan terjaga dari ngengat, terik panas, guyuran hujan dan berbagai ancaman pemusnah lainnya.

Novelnya Carlos Maria Dominguez ini menurut New York Times bisa menghantui pembaca jauh sesudah ditutup. Novel ini terbit mulanya pada tahun 2002 dengan judul ‘La casa de papel’ dalam bahasa inggrisnya ‘The House of Paper’ dan dialihbahasakan oleh Ronny Agustinus dengan judul ‘Rumah Kertas’ yang diterbitkan oleh Marjin Kiri.

Novel ini mencerahkan kita bagaimana seharusnya mencintai buku di atas materi, asesoris dan kebendaan lainnya. Sementara memiliki perpustakaan menjadi salah satu obsesi terbesar di dalam kehidupan, seperti halnya juga dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini.

“Membangun perpustakaan” kata penulis yang lahir 1955 di Argentina ini, “Adalah mencipta kehidupan.”

0 komentar: