Visitors

Sebetulnya saya panggil datuk kepada beliau, karena memang lebih tua dari abah saya di kampung, tetapi karena seringkali bersama di foru...

Hari-hari Bersama KAMMI (bagian 35)

Gambar mungkin berisi: Wamdi Duta Baca Riau dan Drh Chaidir, orang tersenyum
Sebetulnya saya panggil datuk kepada beliau, karena memang lebih tua dari abah saya di kampung, tetapi karena seringkali bersama di forum mahasiswa dan kepemudaan maka sapaan abang lebih akrab terdengar. Dan memang pada wajahnya juga belum terlalu nampak ketuaan seperti umumnya orang-orang seusia beliau – lebih dari 60 tahun – di kampung-kampung. Faktor lainnya juga beliau ini orangnya humoris, penuh senyum dan tentunya memiliki segudang semangat dan motivasi, sehingga keriangan itu sepertinya menghilangkan kerutan-kerutan pada wajahnya. Bahkan semasa masih menjabat sebagai ketua DPRD provinsi Riau salah satu buku yang beliau luncurkan berjudul “Menertawakan Chaidir.”

Pernah dalam satu pertemuan kepemudaan yang berkaitan dengan kemelayuan di hotel Mona Plaza, dan beliau salah satu pembicaranya. Sebelumnya panitia penyelenggara MLMR (Laskar Muda Melayu Riau) menyebutkan dalam undangan bahwa cara dimulai pada pukul 08.00. Pagi itu hujan turun, namun tepat sebelum waktunya beliau sudah berada di sana, duduk menunggu perserta lainnya. Satu persatu berdatangan, maka acara baru dimulai sekitar jam sepuluhan. Begitu beliau diberikan kesempatan bicara pertama kali, hal pertama yang dikoreksinya adalah disiplin waktu para pemuda melayu tersebut. “Maka, ungkapan “Tidak melayu hilang di bumi” akan hilang!” kata beliau dengan nada cukup keras membuat kami hening, “Kalau pemuda-pemudanya bermain-main dengan waktu.”

drh. Chaidir, MM lahir di desa Pemandang – dulunya dusun yang menjadi bagian dari desa Tanjung Medan tempat saya dilahirkan, namun sejak tahun 2000-an dimekarkan menjadi desa tersendiri – pada 29 Mei 1952. Lahir dari sebuah keluarga yang cukup terpandang di kampung kecil, yang ayahnya merupakan Imam masjid, sehingga kalau orang-orang bertemu dengannya mereka hanya memanggil dengan sebutan Imam tersebut.

Menyelesaikan pendidikan strata satu dengan gelar Dokter Hewan di Universitas Gadjah Mada tahun 1978, salah satu universitas ternama di negeri ini, dan tentunya di tahun-tahun itu bisa dihitung dengan jari jumlah mahasiswa yang datang dari daerah. Sementara pendidikan strata duanya beliau tuntaskan di Univeritas Padjadjaran Bandung pada tahun 2001. Dan kini, di usia yang tidak lagi muda, beliau tengah berjuang menyelesaikan pendidikan Doktoralnya. Pernah saya tanya apa yang mendorongnya hingga terus bersemangat menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang tertinggi tersebut, kata beliau, “Mudah-mudah bisa memotivasi yang muda-muda, bahwa pendidikan/sekolah tidak mengenal usia.” Sebuah jawaban menohok, khususnya bagi saya pribadi.

Di sepanjang jalan hidupnya semenjak muda beliau sudah malang melintang di berbagai organisasi kepemudaan, kemasyarakatan dan jabatan publik lainnya. Pernah sebagai ketua AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) kota Batam yang berada di bawah naungan partai Golkar, menduduki jajaran pimpinan KNPI provinsi Riau. Dan sejak tahun 1992 terpilih sebagai anggota DPRD provinsi Riau berturut-turut, hingga pada tahun 1999 paska reformasi amanah sebagai ketua lembaga legislatif daerah tingkat satu tersebut diberikan kepadanya.

Hampir menyelesaikan dua priode kepemimpinan, namun pada tahun 2008 beliau mengambil keputusan besar dengan maju sebagai calon gubernur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menghadapi calon incumbent Rusli Zainal. Namun, paska pemilihan takdir langit baru terkuak bahwa beliau berada di urutan kedua setelah petahana dari tiga pasang calon di pilgubri tahun tersebut.

Saya baru mengenal beliau lebih dekat setelah usianya hampir 60 tahunan. Dulu, semasa saya masih di sekolah dasar di kampung nama beliau seringkali di sebut-sebut sebagai orang yang sangat berhasil di kota. Menjadi ketua DPRD provinsi tidaklah perkara gampang, baik untuk meraihnya selama dua periode, menjaga konstituen, mau pun mempertahankan integritas dan nama baik. Dan beliau relatif berhasil, walaupun pada pemilihan kepala daerah tidak mengungguli suara terbanyak.

Baru ketika di BEM saya undang beliau sebagai pembicara “100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II” dan semasa itu tentunya beliau tidak lagi pejabat publik, sehingga sempat saya sampaikan pada sambutan bahwa menghadirkan beliau ke kampus murni dalam agenda intelektual. Beliau menulis, bahkan menurut cerita yang beliau tuturkan kebiasaan menulis itu telah dimulai sejak masa mahasiswa, bahkan dari honor menulis itulah menutup kekurangan bagi banyaknya kebutuhan mahasiswa kala itu disaat kiriman orang tua tidak mencukupi, dan kadang juga terlambat tibanya. Kegemaran menulis itu tidak memudar ketika kesibukan sebagai pejabat publik meningkat, bahkan semasa di DPRD-lah meliau justeru melaunching beberapa bukunya, seperti “Membaca Ombak,” “1001 Saddam,” “Berhutang pada Rakyat,” dan berbagai judul lainnya. Saya kira disaat kesibukan meningkat itulah terujinya seorang penulis, apakah ia menulis karena banyaknya waktu luang, atau karena menulis itu sudah menjadi bagian dari dirinya atau hidupnya. Dan bagi seorang drh. Chaidir ini tentunya menulis tidak lagi pada tahap kebingungan tentang ide, bahasan apa yang akan ditulisnya. Sebab bertahun-tahun kemudian berbagai genre tulisannya tetap menghiasi berbagai media masa setiap minggunya sebagai kolumnis.

Tidak saja ulung meliuk-liukkan penanya, beliau juga orator yang membuat kita terperangah bila sudah berbicara. Pada satu seminar kepenulis Forum Lingkar Pena (FLP) beliau saya minta sebagai keynote speaker, guraunya sudah lama tidak memegang podium – sekali lagi setelah tidak di DPRD – karena itu beliau cukup lama berbicara, tetapi bagi pendengar tetap saja menarik menyimaknya. Karena itu beberapa kali kuliah publik speaking beliau di kelas komunikasi Universitas Riau pernah saya ikuti, dan memang menarik.

Namun, tidak akan pernah seseorang menjadi penulis dan pembicara yang baik tanpa menggemari kebiasaan membaca dan mencintai buku-buku. Dan itu terlihat dengan menumpuknya buku beliau di salah satu ruangan lantai dua rumahnya, bahkan beberapa buku terlihat masih tertutup plastik, baik fiksi maupun non fiksi.

Maka, begitu panitia DM 3 KAMMI meminta masing-masing peserta mencari rekomendasi tokoh sebelum berangkat ke tanah Rencong sana, di pikiran saya muncul wajah beliau, drh. Chaidir, MM. Bahkan tidak hanya rekomendasi, malam itu beliau juga sempat membekali saya uang transportasi sejumlah lima ratus ribu. Mokasih Bang Chaidir, bilowak pulang kampung bososamo baliek? Bisa nompang. Hehe.



0 komentar: