
Sebetulnya saya panggil datuk kepada beliau, karena memang lebih tua dari abah saya di kampung, tetapi karena seringkali bersama di forum mahasiswa dan kepemudaan maka sapaan abang lebih akrab terdengar. Dan memang pada wajahnya juga belum terlalu nampak ketuaan seperti umumnya orang-orang seusia beliau – lebih dari 60 tahun – di kampung-kampung. Faktor lainnya juga beliau ini orangnya humoris, penuh senyum dan tentunya memiliki segudang semangat dan motivasi, sehingga keriangan itu sepertinya menghilangkan kerutan-kerutan pada wajahnya. Bahkan semasa masih menjabat sebagai ketua DPRD provinsi Riau salah satu buku yang beliau luncurkan berjudul “Menertawakan Chaidir.”
Pernah dalam satu pertemuan kepemudaan yang berkaitan dengan
kemelayuan di hotel Mona Plaza, dan beliau salah satu pembicaranya. Sebelumnya
panitia penyelenggara MLMR (Laskar Muda Melayu Riau) menyebutkan dalam undangan
bahwa cara dimulai pada pukul 08.00. Pagi itu hujan turun, namun tepat sebelum
waktunya beliau sudah berada di sana, duduk menunggu perserta lainnya. Satu
persatu berdatangan, maka acara baru dimulai sekitar jam sepuluhan. Begitu
beliau diberikan kesempatan bicara pertama kali, hal pertama yang dikoreksinya
adalah disiplin waktu para pemuda melayu tersebut. “Maka, ungkapan “Tidak
melayu hilang di bumi” akan hilang!” kata beliau dengan nada cukup keras
membuat kami hening, “Kalau pemuda-pemudanya bermain-main dengan waktu.”
drh. Chaidir, MM lahir di desa Pemandang – dulunya dusun yang
menjadi bagian dari desa Tanjung Medan tempat saya dilahirkan, namun sejak
tahun 2000-an dimekarkan menjadi desa tersendiri – pada 29 Mei 1952. Lahir dari
sebuah keluarga yang cukup terpandang di kampung kecil, yang ayahnya merupakan
Imam masjid, sehingga kalau orang-orang bertemu dengannya mereka hanya
memanggil dengan sebutan Imam tersebut.
Menyelesaikan pendidikan strata satu dengan gelar Dokter Hewan di
Universitas Gadjah Mada tahun 1978, salah satu universitas ternama di negeri
ini, dan tentunya di tahun-tahun itu bisa dihitung dengan jari jumlah mahasiswa
yang datang dari daerah. Sementara pendidikan strata duanya beliau tuntaskan di
Univeritas Padjadjaran Bandung pada tahun 2001. Dan kini, di usia yang tidak
lagi muda, beliau tengah berjuang menyelesaikan pendidikan Doktoralnya. Pernah
saya tanya apa yang mendorongnya hingga terus bersemangat menyelesaikan
pendidikan hingga ke jenjang tertinggi tersebut, kata beliau, “Mudah-mudah bisa
memotivasi yang muda-muda, bahwa pendidikan/sekolah tidak mengenal usia.” Sebuah
jawaban menohok, khususnya bagi saya pribadi.
Di sepanjang jalan hidupnya semenjak muda beliau sudah malang
melintang di berbagai organisasi kepemudaan, kemasyarakatan dan jabatan publik
lainnya. Pernah sebagai ketua AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) kota
Batam yang berada di bawah naungan partai Golkar, menduduki jajaran pimpinan
KNPI provinsi Riau. Dan sejak tahun 1992 terpilih sebagai anggota DPRD provinsi
Riau berturut-turut, hingga pada tahun 1999 paska reformasi amanah sebagai
ketua lembaga legislatif daerah tingkat satu tersebut diberikan kepadanya.
Hampir menyelesaikan dua priode kepemimpinan, namun pada tahun 2008
beliau mengambil keputusan besar dengan maju sebagai calon gubernur dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menghadapi calon incumbent Rusli Zainal.
Namun, paska pemilihan takdir langit baru terkuak bahwa beliau berada di urutan
kedua setelah petahana dari tiga pasang calon di pilgubri tahun tersebut.
Saya baru mengenal beliau lebih dekat setelah usianya hampir 60
tahunan. Dulu, semasa saya masih di sekolah dasar di kampung nama beliau
seringkali di sebut-sebut sebagai orang yang sangat berhasil di kota. Menjadi ketua
DPRD provinsi tidaklah perkara gampang, baik untuk meraihnya selama dua
periode, menjaga konstituen, mau pun mempertahankan integritas dan nama baik. Dan
beliau relatif berhasil, walaupun pada pemilihan kepala daerah tidak
mengungguli suara terbanyak.
Baru ketika di BEM saya undang beliau sebagai pembicara “100 Hari
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II” dan semasa itu tentunya beliau tidak lagi
pejabat publik, sehingga sempat saya sampaikan pada sambutan bahwa menghadirkan
beliau ke kampus murni dalam agenda intelektual. Beliau menulis, bahkan menurut
cerita yang beliau tuturkan kebiasaan menulis itu telah dimulai sejak masa
mahasiswa, bahkan dari honor menulis itulah menutup kekurangan bagi banyaknya
kebutuhan mahasiswa kala itu disaat kiriman orang tua tidak mencukupi, dan
kadang juga terlambat tibanya. Kegemaran menulis itu tidak memudar ketika
kesibukan sebagai pejabat publik meningkat, bahkan semasa di DPRD-lah meliau
justeru melaunching beberapa bukunya, seperti “Membaca Ombak,” “1001 Saddam,” “Berhutang
pada Rakyat,” dan berbagai judul lainnya. Saya kira disaat kesibukan meningkat
itulah terujinya seorang penulis, apakah ia menulis karena banyaknya waktu
luang, atau karena menulis itu sudah menjadi bagian dari dirinya atau hidupnya.
Dan bagi seorang drh. Chaidir ini tentunya menulis tidak lagi pada tahap
kebingungan tentang ide, bahasan apa yang akan ditulisnya. Sebab bertahun-tahun
kemudian berbagai genre tulisannya tetap menghiasi berbagai media masa setiap
minggunya sebagai kolumnis.
Tidak saja ulung meliuk-liukkan penanya, beliau juga orator yang
membuat kita terperangah bila sudah berbicara. Pada satu seminar kepenulis
Forum Lingkar Pena (FLP) beliau saya minta sebagai keynote speaker, guraunya
sudah lama tidak memegang podium – sekali lagi setelah tidak di DPRD – karena itu
beliau cukup lama berbicara, tetapi bagi pendengar tetap saja menarik
menyimaknya. Karena itu beberapa kali kuliah publik speaking beliau di kelas
komunikasi Universitas Riau pernah saya ikuti, dan memang menarik.
Namun, tidak akan pernah seseorang menjadi penulis dan pembicara
yang baik tanpa menggemari kebiasaan membaca dan mencintai buku-buku. Dan itu
terlihat dengan menumpuknya buku beliau di salah satu ruangan lantai dua
rumahnya, bahkan beberapa buku terlihat masih tertutup plastik, baik fiksi
maupun non fiksi.
Maka, begitu panitia DM 3 KAMMI meminta masing-masing peserta
mencari rekomendasi tokoh sebelum berangkat ke tanah Rencong sana, di pikiran saya
muncul wajah beliau, drh. Chaidir, MM. Bahkan tidak hanya rekomendasi, malam
itu beliau juga sempat membekali saya uang transportasi sejumlah lima ratus
ribu. Mokasih Bang Chaidir, bilowak pulang kampung bososamo baliek? Bisa nompang.
Hehe.
0 komentar: