Visitors

Di tengah berbagai macam agenda BEM awal tahun 2010 tiba-tiba ada pemberitahuan, akhirnya nanti berujung pada desakan supaya saya mengi...

Hari-hari Bersama KAMMI (bagian 33)


Di tengah berbagai macam agenda BEM awal tahun 2010 tiba-tiba ada pemberitahuan, akhirnya nanti berujung pada desakan supaya saya mengikuti DM 3 KAMMI di Ujung Barat pulau Sumatera, Tanah Rencong, Nanggroe Aceh Darussalam.

Effendi Muharram (orang ke-3 yang bernama Effendi di buku ini), ketua Kamda berdarah Sunda yang pada postur, perawakan dan bicaranya ada ketegasan, sore itu sengaja menelfon saja supaya mempersiapkan diri mengikuti training kepemimpinan level 3 KAMMI tersebut. Maka saya tidak punya pilihan, walaupun mesti meninggalkan kegiatan BEM yang tidak kalah pentingnya juga. Alasan lainnya saya menolak di awal adalah adanya keinginan DM 3 di Indonesia Timur sana, mengingat DM 2 dua tahun lalu di Subang, Jawa Barat. Tapi sudahlah, ini perintah.

Tetapi diminta untuk mengikuti DM 3 tersebut bukan serta merta lulus dan berangkat, namun mesti melalui beberapa tahapan seleksi. Mulai dari tes tulis, wawancara, sidang tugas baca dengan membuat makalah. Maka kembalilah saya menekuni beberapa buku dengan lebih mendalam lagi, di antaranya buku “Fiqh Tamkin wa Nashr” karya Ali Muhammad Ash Shalaby, “Siyasah Syar’iyah” karya Ibnu Taimiyah, “Pilar-pilar Kebangkitan Umat” karya Abdul Hamid Al-Ghazali, “KAMMI dan Pergulatan Reformasi” bukunya Mahfudz Siddiq, “Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al-Banna” dan beberapa buku pendukung lainnya.

Sementara untuk makalah saya memilih mentelaah buku “Fiqh Tamkin wa Nashr” dengan judul makalah “Kepemimpinan Islam; Sebuah Upaya Meneguhkan Eksistensi Manusia.” Berikut saya kutipkan bagian akhirnya saja atau kesimpulan dari makalah yang saya tulis bertahun silam.

Dunia ini fitrahnya Islam. Allah yang menjadikan dunia ini dan menurunkan Islam sebagai aturan yang integral dalam mengelolanya. Alam semesta ini dengan segala sumber daya yang ada di dalamnya Allah jadikan sebagai sarana mempermudah hamba-Nya untuk berlaku taat.
Rasulullah sebagai utusan-Nya yang telah menuntaskan masa kerasulannya selama 23 tahun telah mampu membangun sebuah peradaban yang menurut Michael H. Hart belum pernah ada peradaban dunia yang muncul seberadab itu. Ia mengakomodir berbagai kepentingan, golongan, suku, bahkan agama tanpa sekali pun diskriminatif. Namun, kehendak Allah tetap berada di atas segala-galanya.
Kejatuhan khilafah Islamiyah pada tahun 1924 menjadikan dunia buram, suram. Semua sistem mengaku layak berdiri di garda depan, padahal yang ada hanyalah kepentingan individualisme, primordialisme, sehingga yang muncul adalah sifat keangkuhan, saling menjatuhkan, dan pada ahirnya berujung dengan kehancuran tata hidup manusia.
Pantas kiranya kita kutip apa yang disampaikan oleh ulama besar Abul Hasan Ali an-Nadwy, ulama asal India dalam bukunya “Kerugian Dunia Karena Kemunduran Umat Islam”
“Seandainya dunia mengetahui hakikat malapetaka ini, berapa besar kerugian dunia dari kejadian ini, maka dunia pasti akan menjadikan hari kejatuhan kaum Muslimin itu sebagai hari berkabung yang penuh sesal, tangis, dan ratapan hingga saat ini. Bila setiap bangsa di dunia ini senantiasa saling mengirim tanda berduka cita (takziah), maka dunia pasti akan memakai pakaian berkabung. Bukan hanya dalam satu atau dua hari, tetapi dalam waktu bertahun-tahun.”
Karena itu, tugas utama yang wajib kita lakukan saat ini adalah berjuang untuk mengembalikan kejayaan tersebut, menjadikan Islam sebagai soko guru peradaban. Dan memperlihatkan pada penduduk dunia bahwa ketentraman hanya bisa dicapai dengan menerapkan aturan-aturan Allah Swt dalam berbagai situasi dan kondisi.
Di antara pertanyaan tim penguji kala itu adalah terkait dengan masa dakwah nabi Nuh yang begitu panjang, 950 tahun. Apakah nabi Nuh sukses? Waktu yang dia habiskan begitu panjang, sementara hanya memperoleh umat puluhan hitungannya. Ternyata, tugas kita itu hanya bekerja dengan maksimal, mengajak tanpa pernah bosan dengan selalu mengupayakan cara terbaik, seperti halnya nabi Nuh yang mengajak kaumnya siang dan malam tanpa jeda. Lalu bersabar dan istiqomahlah dalam aktivitas tersebut hingga kematian datang menyapa.

Terima kasih mbak Setiyati, akh Dimas dan Pak Eddi Rusydi yang telah menyidang saya selepas Asar hari itu.

0 komentar: