![]() |
Foto: thehabibicenter |
“Kemana-mana naik bis, malah karena kekurangan uang untuk membeli
kartu langganan bulanan, dua tiga kali seminggu ia (Habibie) jalan kaki
mengambil jalan pintas sejauh limabelas kilometer. Sepatunya berlobang-lobang,
hingga baru menjelang musim dingin lobangnya ditambal.”
Kalimat perjuangan – dari buku Habibie dan Ainun – menakhlukkan
kemelaratan demi mimpi dan harapannya semasa di Jerman di atas cukup menguatkan
saya menghadapi kehidupan dengan takdir berbeda yang Tuhan juga telah gariskan
bagi setiap anak manusia. Hidup ini adalah persoalan kompetisi diri kita hari
ini yang harus dan mesti dimenangkan dari hari sebelumnya.
Semasa sekolah di pesantren beberapa tahun lalu saya tinggal di
rumah paman – ketika kembali ke Darussalam setamat Madrasah Tsanawiyah di As-Shahwah Islamiyah Ujung Batu – yang
rumahnya berjarak sekitar satu kilometer dari sekolah. Rumah kayu yang
berlantai semen dengan dapur agak ditinggi lebih sedikit. Dan di sekitaran rumah
tumbuh berbagai tanaman buah dan sayuran semacam rambutan, nangka, jambu,
jeruk, singkong, kangkung, petai dan juga jengkol. Biasanya para santri yang
tinggal di pesantren lebih ramai berkunjung bila tiba masa berbuahnya tanaman
tersebut.
Ada pun paman dan bibi sehari-hari mereka mengajar di pesantren,
singkat kata mereka adalah pasangan yang dipertemukan di profesi yang sama,
guru. Dan mayoritas guru di pesantren kala itu adalah pengajar kitab kuning
atau kitab gundul. Biasanya selepas shalat Isya bibi akan membaca kitab
tersebut di depan paman, pada bagian yang akan diajarkannnya esok hari. Ya
semacam penguatanlah, sehingga besok pagi mengajar dengan penuh keyakinan.
Kemudian bila bibi telah selesai, para santri yang belajar ke rumah pun sudah
menunggu paman di ruang depan. Seringkali saya ikut bergabung, dan belajar
seperti ini biasanya berakhir pukul sebelas malam.
Namun, saya menyaksikan pasangan suami istri ini pekerja keras, dan
di samping itu hidup sederhana. Paman biasanya sudah bangun pukul tiga dini
hari, menyiapkan berbagai jualan yang akan dititipkan besoknya di asrama santri
putri – kadang waktu saya dimintanya menjajakan ke asrama santri putra juga – dan
tidak berselang satu jam bibi pun telah ikut di dapur membantu paman.
Setelah sholat Subuh paman sudah hilir mudik menitipkan jualan
tersebut, mandi dan siap-siap mengantarkan anaknya ke sekolah, oya anaknya dua
orang yang masa itu SD-nya berjarak lima kilometer dari rumah. Usai semua itu
barulah paman berangkat ke sekolah, sementara bibi telah duluan pergi berjalan
kaki.
Sepulang sekolah sekitar jam dua siang paman pun bersiap-siap ke
ladang sawit yang baru di tanami atau sebagian masih penggarapan tanah akan ditanami.
Di sana beliau mencangkul, menebas, dan tentunya juga memupuk. Manakala tiba
masa panen sekali dua minggu saya dan bibi juga ikut, terkadang juga dibantu
santri lainnya.
Sementara paman di ladang, bibi pun tidak kalah sibuknya. Sepulang
sekolah beliau sudah ke dapur dan memasak, sebab kala itu beberapa santri
catering di rumah.
Inilah hari-hari yang mereka lalui di tahun-tahun itu dan juga yang
saya rasakan ketika masih tinggal di sana. Jarang sekali saya lihat mereka –
khususnya paman – beristirahat. Bahkan bila para santri yang belajar malam itu
telah pulang, beliau pun melakukan shalat dan zikir, dan tidak jarang saya
lihat terangguk-angguk mengantuk di sejadahnya.
Sedangkan untuk kehidupan yang sifatnya gaya hidup mereka tidak terlalu
mengikuti. Di rumah hanya ada sebuah motor buntut yang digunakan untuk sekedar
menuntaskan beberapa aktivitas harian tersebut. Dalam berpakaian pun demikian,
boleh dikatakan hanya berganti sekali setahun bila lebaran tiba.
Berapalah gaji guru pesantren kala itu, tetapi sedapat mungkin
mereka akan investasikan ke kebun sawitnya yang makin hari makin bertambah. Dan
kini setelah beberapa tahun, langit rumah tangganya mulai terang; rumah yang
dulunya berdinding papan kini telah bangunan permanen, motor yang lebih baik,
ditambah lagi mobil yang parkir dan siap digunakan kapan pun jua. Dan beberapa tahun
lalu, pasangan suami istri pekerja keras ini telah menunaikan rukun Islamnya
yang kelima.
Bila di pesantren tinggal bersama adik ibu yang laki-laki (paman),
maka sewaktu melanjutkan strata satu saya tinggal di rumah adik ibu yang
perempuan (bibi). Rumahnya terletak di jalan Delima, gang Delima sembilan,
tidak juga berjauhan dari rumah nenek di perumahan Delima Puri blok E no 4. Pernah
saya utarakan mau tinggal di masjid atau musala yang dekat dari kampus sebagi Marbot
seperti beberapa teman lainnya, namun sayang tidak diizinkan, kata suaminya, “Rumah
kita ada, kenapa mesti tinggal di luar sana.”
Sebenarnya niat saya tinggal dekat kampus itu lumayan beralasan. Dari
simpang Delima rumah bibi saya ini ke dalam berjarak 1 kilo meter lebih, karena
itu berarti mesti berjalan kaki ke luar atau memilih dua kali naik angkutan,
pertama menggunakan becak dan berikutnya menumpang bus atau oplet ke kampus. Maka
pilihan pertama lebih sering saya ambil, lumayan sedikit menghemat pengeluaran.
Sementara jadwal kuliah dan kegiatan di kampus sambung menyambung dari satu
agenda ke agenda lainnya, dari satu tempat ke tempat berikutnya.
Bahkan sampai ketika sudah diamanahkan di-BEM pun kegiatan jalan
kaki tersebut tidak berubah sama sekali. Karena itu sering sekretariat BEM pun
dijadikan penginapan, kadang sendiri, lain waktu ada Khairi, Aderman, Didy, Jefrizal,
Malik Almunir dan beberapa pengurus lainnya ikut terlelap setelah
diskusi-diskusi panjang. Seringnya agenda aksi dengan menyiapkan spanduk,
pamplet, ikat kepala dan atribut lainnya.
Begitupun dengan pakayan saya angkut beberapa pasang ke sana
termasuk peralatan mandi. Dan juga yang tidak boleh ketinggalan adalah buku. Hampir
seratusan buku saya susun di meja, tentu belum sebanding dengan 16 peti bukunya
bung Hatta yang beliau kundang ketika pengasingan ke Boven Digul, hutan
belantara Papua sana.
“There is no friend as loyal as a book.” Demikian Ernest Hemingway
si penulis nevella “The Old Man and the Sea” yang mendunia itu menghotbahkan
bagaimana manutnya sebuah buku.
0 komentar: