Memang belum tentu terpilih sebagai presiden mahasiswa – masa itu
masih menggunakan istilah ketua Dewan Mahasiswa – namun saya mesti menyampaikan
terlebih dahulu pada teman-teman pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) karena saya
juga tengah diamanahkan sebagai ketua umum wilayah Riau untuk organisasi
kepenulisan tersebut.
***
Persis hari dan tanggalnya saya lupa kapan berkumpul dan bermusyawarah di rumah teteh Dinawati, tapi masih diawal tahun 2008. Di rumah yang terletak di jalan Cempedak, bercat putih, khas rumah lama kota Pekanbaru itulah kami berkumpul, siang menjelang waktu Asar. Hadir juga di sana kang Irfan Hidayatullah, ketua umum FLP pusat.
Persis hari dan tanggalnya saya lupa kapan berkumpul dan bermusyawarah di rumah teteh Dinawati, tapi masih diawal tahun 2008. Di rumah yang terletak di jalan Cempedak, bercat putih, khas rumah lama kota Pekanbaru itulah kami berkumpul, siang menjelang waktu Asar. Hadir juga di sana kang Irfan Hidayatullah, ketua umum FLP pusat.
Bahasan siang itu terkait ketua FLP Riau yang sedang menjabat dan
kini terlibat dalam politik praktis, yaitu Suburatno. Sebagai organisasi
kepenulisan yang anggotanya bersifat umum, maka dikhawatirkan bahwa gerbong
organisasi tersebut terseret ke dalam stigma negatif masyarakat yang
mengkait-kaitkan FLP dengan salah satu partai politik nantinya. Apalagi tahun
depan adalah tahun politik, pesta demokrasi nasional 2009.
Cukup alot perbincangannya, mempertimbangkan ini dan itu. berbagai
masukan dan sumbang saran disampaikan oleh para peserta. Dan ujungnya adalah
menonaktifkan Suburatno dari amanahnya sebagai ketua dan sekaligus memilih
ketua FLP Riau yang baru. Maka diketengahkanlah beberapa nama; Desi Somalia,
Sila Sazali dan saya sendiri.
Saya bergabung dengan organisasi kepenulisan ini baru setahun yang
lalu, 2007. Awal mulanya di KAMMI ada program Sekolah Menulis yang kita gagas
dengan target peserta kader komisariat, juga mahasiswa pada umumnya. Dan salah seorang
pemateri sekolah tersebut yang diajukan panitia adalah Joni Lis Efendi, seorang
penulis dan tentunya kutu buku (bookworm). Seringkali saya ke tempat beliau –
baik ketika masih tinggal di musalla fakultas Perikanan UR atau setelah
menempati rumah kos di belakang Polsek Tampan – tumpukan buku selalu membuat
saya berdecak kagum.
“Buku ini tidak semuanya saya beli,” ujar beliau suatu ketika,
“Sebagian besar adalah hadiah dari penulis atau penerbit, karena saya meresensi
buku-buku mereka.” Suntikan energi penuh pada saya untuk lebih banyak lagi
membaca dan belajar menulis di masa-masa itu.
Maka dari tangan beliaulah saya mengenal FLP yang ternyata beliau merupakan
ketua umumnya di wilayah ini. Beberapa tahun kemudian, setelah tidak lagi
menjabat beliau memilih pindah ke Yogyakarta. Kota pelajar itu memang lebih membuka
pintu bagi orang yang tergila-gila pada buku dan komunitas kreatif.
Siang itu, menjelang azan Asar berkumandang bulatlah hasil
musyawarah pada penunjukan saya untuk menakhodai FLP Riau dua tahun ke depan. Dengan
mempertimbangkan Sila yang masih menjabat di FLP Pekanbaru dan Desi yang lebih
mendahulukan laki-laki. Walau pun pada tahun berikutnya Desi Somalia
diamanahkan juga akhirnya menggantikan posisi Sila di FLP Bertuah.
“Dia layak menjadi pemimpin, menjadi stafnya beberapa saat memiliki
catatan tersendiri buat saya. Dia pemimpin yang sangat memperhatikan masukan
dan hal-hal kecil dari anggota. Selamat berjuang, teruskan ukiran pena
perubahan, meski lingkaran pena itu akan ditinggalkan.” Inilah status Facebook Humas
FLP, mbak Sugiarti yang ditandai ke saya di masa-masa kampanye.
“Layak”
“Catatan tersendiri buat saya”
“Memperhatikan masukan dan hal-hal terkecil”
“Selamat berjuang”
“Meninggalkan lingkaran pena”
Sepertinya ada sedikit kebanggaaan, kepantasan, dukungan, tetapi juga
terselip kekecewaan.
0 komentar: