Masih terngiang di telinga saya nasehat pendek itu. Pagi masih
belum sempurna berpisah dari kabut malam, ia juga menghalangi jarak pandang. Sementara
aliran sungai batang Rokan yang jernih dan berbatu itu tampak mengeluarkan uap,
seperti juga mulut-mulut mereka yang bergemeretuk seusai mandi dengan tubuh
menggigil kedinginan. Semakin menyurutkan keinginan saya untuk menceburkan diri
sepagi itu.
Itu hari pertama saya akan menjejakkan kaki ke Sekolah Dasar Negeri
(SDN) 011 Tanjung Medan, sekarang 012. Dan ibu yang bicara pagi itu adalah keluarga,
tetangga dan nanti juga menjadi salah seorang guru yang mengajarkan saya di
sekolah tersebut.
Sebetulnya beliau bukan orang asli kampung kami, tetapi guru yang
ditempatkan pemerintah di sana dan akhirnya menikah dengan warga kampung yang
kebetulan adalah saudara (keluarga) dari ayah saya. Dengan tiga orang anaknya
beliau menempati rumah guru yang disiapkan pemerintah yang memang berdampingan
dengan sekolah, dan berjarak dua rumah dari rumah panggung saya kala itu.
Saya panggil abang pada anaknya yang tertua, dan memang lebih tua
dari saya satu atau dua tahun. Dengan beragam permainan buatan di kampung maka
acap kali kami bersama-sama, saling bertandang ke rumah masing-masing dan
tentunya juga terkadang ikut makan bersama di sana.
Nama teman saya itu adalah Rifman Maiza, kami memanggilnya Siif
(bacanya Si-if).
Bertahun kemudian beliau pindah rumah ke pasar kampung karena
ayahnya berjualan barang harian.
Bertahun kemudian pindah lagi ke Ujung Batu, karena ibunya dan guru
kami itu pindah tugas ke kampung halamannya.
Bertahun kemudian Tuhan mentakdirkan saya bertemu dengan teman dan
abang saya tersebut di UIN Suska Riau, dia berada di fakultas Ekonomi dan Ilmu
Sosial. Kata dia waktu pertama kali saya masuk, “Dik, kalau besok ada yang
mengganggu (berbuat jahat) kasih tahu Abang, ya!”
Bertahun kemudian, di Pemira UIN Suska Riau tahun 2009 teman dan
abang saya inilah yang menjadi tandingan. Hanya dua kandidat, dia dan saya. Dia
dari GMNI sementara saya dari KAMMI.
0 komentar: