Al-Walid bin Hisyam mengatakan, bahwa ”Sesungguhnya rakyat akan
rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin.”
Kesadaran pentingnya kepemimpinan dipegang oleh orang-orang muslim
yang taat sedari awal sudah dipahami oleh kader KAMMI, bahkan inilah diskursus
yang tidak pernah usai selama berada di organisasi pergerakan ini. Memang sudah
kita yakini urgen hal tersebut, tetapi kita dihadapkan dengan masyarakat baru,
publik baru, sistem baru, tantangan dan cara pandang yang berubah di setiap
masa.
Tetapi di sisi lain, di pergerakan dakwah ini juga ditanamkan bahwa
kepemimpinan itu tidak boleh muncul dari sebab ambisi individu pada keinginan
ingin berkuasa. Kalaupun ada semacam cita-cita sedari kecil, maka letaknya
berada dibawah keputusan hidup berjamaah. Sebab kekuasaan itu sifatnya adalah
amanah atau given (sesuatu yang diserahkan). Oleh sebab itu ketemulah
dua kutub yang berbeda, bila yang pertama adalah pemahaman pentingnya kekuasaan,
maka yang kedua adalah ditutupnya pintu dari personal ambition (ambisi
pribadi).
Dalam kondisi seperti itu, di mana kader mesti menempatkan diri? Maka
jawabannya adalah pada kesiap-siapan. Bangun dan tingkatkan terus kompetensi
dan integritas diri, sampai tiba saatnya nanti kita diminta, sekali lagi
diminta atau diamanahkan untuk memimpin di salah satu institusi atau hanya
sekedar sebagai tim yang memperkuat orang yang berada di institusi tersebut. Di
sinilah munculnya satu kaedah penting dari esensi kemanusiaan, bahwa kontribusi
jauh lebih penting dari pada sekedar posisi (contribution is more important
than position).
Berangkat dari dasar tersebut maka Senat Mahasiswa (SM) atau Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) menjadi salah satu target yang diupayakan oleh para
aktivis dakwah kampus untuk diambil alih tampuk kepemimpinannya. Di samping ia akan
menjadi minzholah (payung) bagi gerakan dakwah kampus itu sendiri, ia
juga menjadi wasilah atau sarana untuk pengaplikasian teori – mengabdi,
mengadvokasi, kepedulian sosial, menyeru pada yang makruf dan meminimalisir terjadinya
kemungkaran – yang selama ini hanya teori dan wujud dalam diskusi-diskusi
gerakan. Tentunya kesempatan menjadi leader di kampus itu adalah
pelatihan bagi kader dakwah dalam memimpin sebelum ia benar-benar turun saatnya
nanti di masyarakat ril (real society).
Tetapi tidak mudah. Para aktivis dakwah kampus di universitas
Indonesia (UI) baru bisa menang dalam pemilihan ketua senat mahasiswa itu pada periode
tahun 1994-1995 dengan kandidat yang diajukan adalah Zulkiflimansyah. Artinya
kalau kita hitung eksisnya dakwah kampus di sana sejak tahun 1980, maka
memerlukan waktu lebih kurang 14 tahun itu menggapainya.
Sementara di UIN Suska Riau pemahaman pentingnya menguasai tampuk
kepemimpinan itu pun sudah terbit sejak pertama kali mereka – aktivis Islam –
eksis dalam dakwah ini. Sebab kepemimpinan itu adalah perihal yang asasi dalam
Islam dan bagian dari syumul-nya (sempurnya) keislaman seseorang.
Cuma perbedaannya, bila di UI membutuhkan waktu 14 tahun untuk
meraihnya, maka di UIN Suska Riau para aktivis dakwah tersebut Allah mudahkan
dengan hanya 10 tahun masa penantian. Pada tahun 2008 ranah kepemimpinan senat
mahasiswa tersebut mulai dijamah, dan beruntungnya langsung diterima publik
dengan kandidatnya Eddi Rusydi Arrasyidi berpasangan dengan Anggun Setiawaty. Relatif lebih singkat dari pada di UI, karena
tidak bisa ditampik juga bahwa banyak sekali kemudahan setelah kita menghirup
udara reformasi.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta
pertanggungjawaban dari kepemimpinannya.” Tidak mudah, itulah gambaran pesan
Rasul perihal kepemimpinan ini.
0 komentar: