Visitors

Al-Walid bin Hisyam mengatakan, bahwa ”Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pe...

Hari-hari Bersama KAMMI (bagian 24)


Al-Walid bin Hisyam mengatakan, bahwa ”Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin.”

Kesadaran pentingnya kepemimpinan dipegang oleh orang-orang muslim yang taat sedari awal sudah dipahami oleh kader KAMMI, bahkan inilah diskursus yang tidak pernah usai selama berada di organisasi pergerakan ini. Memang sudah kita yakini urgen hal tersebut, tetapi kita dihadapkan dengan masyarakat baru, publik baru, sistem baru, tantangan dan cara pandang yang berubah di setiap masa.

Tetapi di sisi lain, di pergerakan dakwah ini juga ditanamkan bahwa kepemimpinan itu tidak boleh muncul dari sebab ambisi individu pada keinginan ingin berkuasa. Kalaupun ada semacam cita-cita sedari kecil, maka letaknya berada dibawah keputusan hidup berjamaah. Sebab kekuasaan itu sifatnya adalah amanah atau given (sesuatu yang diserahkan). Oleh sebab itu ketemulah dua kutub yang berbeda, bila yang pertama adalah pemahaman pentingnya kekuasaan, maka yang kedua adalah ditutupnya pintu dari personal ambition (ambisi pribadi).

Dalam kondisi seperti itu, di mana kader mesti menempatkan diri? Maka jawabannya adalah pada kesiap-siapan. Bangun dan tingkatkan terus kompetensi dan integritas diri, sampai tiba saatnya nanti kita diminta, sekali lagi diminta atau diamanahkan untuk memimpin di salah satu institusi atau hanya sekedar sebagai tim yang memperkuat orang yang berada di institusi tersebut. Di sinilah munculnya satu kaedah penting dari esensi kemanusiaan, bahwa kontribusi jauh lebih penting dari pada sekedar posisi (contribution is more important than position).

Berangkat dari dasar tersebut maka Senat Mahasiswa (SM) atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menjadi salah satu target yang diupayakan oleh para aktivis dakwah kampus untuk diambil alih tampuk kepemimpinannya. Di samping ia akan menjadi minzholah (payung) bagi gerakan dakwah kampus itu sendiri, ia juga menjadi wasilah atau sarana untuk pengaplikasian teori – mengabdi, mengadvokasi, kepedulian sosial, menyeru pada yang makruf dan meminimalisir terjadinya kemungkaran – yang selama ini hanya teori dan wujud dalam diskusi-diskusi gerakan. Tentunya kesempatan menjadi leader di kampus itu adalah pelatihan bagi kader dakwah dalam memimpin sebelum ia benar-benar turun saatnya nanti di masyarakat ril (real society).

Tetapi tidak mudah. Para aktivis dakwah kampus di universitas Indonesia (UI) baru bisa menang dalam pemilihan ketua senat mahasiswa itu pada periode tahun 1994-1995 dengan kandidat yang diajukan adalah Zulkiflimansyah. Artinya kalau kita hitung eksisnya dakwah kampus di sana sejak tahun 1980, maka memerlukan waktu lebih kurang 14 tahun itu menggapainya.

Sementara di UIN Suska Riau pemahaman pentingnya menguasai tampuk kepemimpinan itu pun sudah terbit sejak pertama kali mereka – aktivis Islam – eksis dalam dakwah ini. Sebab kepemimpinan itu adalah perihal yang asasi dalam Islam dan bagian dari syumul-nya (sempurnya) keislaman seseorang.

Cuma perbedaannya, bila di UI membutuhkan waktu 14 tahun untuk meraihnya, maka di UIN Suska Riau para aktivis dakwah tersebut Allah mudahkan dengan hanya 10 tahun masa penantian. Pada tahun 2008 ranah kepemimpinan senat mahasiswa tersebut mulai dijamah, dan beruntungnya langsung diterima publik dengan kandidatnya Eddi Rusydi Arrasyidi berpasangan dengan Anggun Setiawaty. Relatif lebih singkat dari pada di UI, karena tidak bisa ditampik juga bahwa banyak sekali kemudahan setelah kita menghirup udara reformasi.

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban dari kepemimpinannya.” Tidak mudah, itulah gambaran pesan Rasul perihal kepemimpinan ini.

0 komentar: