Di tahun berdirinya FKII Asy-Syams UIN Suska Riau, maka di tahun
itu juga KAMMI masuk ke kampus madani tersebut, tidak berselang lama setelah
Deklarasi Malang, 1998. Dan sebagai sebuah organisasi yang lahir dari rahim
Aktivis Dakwah Kampus (ADK), maka di tangan-tangan mereka jugalah tersebar
dengan cepat pergerakan ini.
Seperti aliran darah, KAMMI mengalir atau berjalan di mana ADK
tersebut berada. Sebab itu, membaca KAMMI sesungguhnya bukan membaca rentang
jaringan pertumbuhan Maret hingga kejatuhan Suharto, tetapi membacanya lewat
hari-hari pertama eksisnya gerakan dakwah kampus 20 tahun belakangan.
Karena itu saya sebagai orang yang datang 8 tahun kemudian –
bergabung di tahun 2006 – dan membaca fakta sejarah seperti ini, tentunya tidak
bisa memahami seutuhnya pola berfikir sebagian mereka (juga aktivis dakwah
kampus) yang bertahun kemudian belum bisa merukunkan antara LDK dan KAMMI di
kampus-kampus mereka. Bahkan menurut saya yang mengalami aktif di dua
kelembagaan tersebut, KAMMI lebih siap dalam tahapan membentuk sisi syumuliyatul
Islam – pemahaman dan agenda – yang menjadi bagian dari materi awal yang
diterima oleh setiap aktivis Islam tersebut.
“Apalagi saya menemukan fenomena kalau ikhwan non-KAMMI (masih
ikhwan tarbiyah) tidak mau menikah dengan akhwat KAMMI. Kalaupun mau menikah,
maka syaratnya, akhwat harus PHK (putus hubungan KAMMI) total.” Demikian tulis Evie
Fitria di buku “Mengapa Aku Mencintai KAMMI.”
Sampai segitunya? Hehe. Cuma terkadang yang terjadi di lapangan itu
adalah ‘pergesekan’ pada agenda, sama-sama ingin berbuat, tetapi ada rasa bahwa
salah satu lebih cocok untuk menangani agenda tersebut. Percik itu pernah
muncul di sekitaran kami, tetapi segera bisa kami padamkan. Dua-duanya adalah senapan
atau pistol yang kita gunakan, tetapi terkadang kita belum sampai pada tingkat
pemahaman kapan salah satu dari pelor senjata tersebut pas untuk kita
tembakkan. Tinggal stressing (titik tekannya) di mana.
KAMMI UIN Suska Riau berdiri setelah reformasi bergulir. Nurhasnah
ketika itu menjabat sebagai koordinator kaderisasi FKII juga menerima tongkat
kepemimpinan sebagai ketua komisariat KAMMI UIN Suska Riau. Akhwat! Ya, di hari
pertama KAMMI hadir di kampus Islam tersebut, maka akhwatlah sebagai kepalanya.
Seperti pesan yang dikirimkan oleh ketua pertama tersebut kepada
saya, “Ketua Nurhasnah, sekretaris Reni Susanti, ka kaderisasi Abdurrahim,
anggota Yuli Efrina Leni, ka kastrat Heni Kusrini dengan anggotanya Maharani.”
“Enam orang, inilah modal pertama kalinya KAMMI UIN Suska Riau
berdiri, dan diresmikan oleh ketua Kamda Dian Sukheri. Baru pada tahun
berikutnya terjadi pergantian dengan Tamarudin sebagai ketua.”
Seiring dengan KAMMI UIN Suska Riau juga berdiri KAMMI komisariat
UR, UIR, Unilak, dan diikuti oleh komisariat Albadar Bangkinang. Namun dua
komisariat terakhir ini sekarang tidak tahu lagi di mana rimbanya. Tapi Alhamdulillah,
paska KAMMI daerah Riau menjadi KAMMI wilayah Riau pada 2013, maka ada
perkembangan yang signifikan, banyaknya pertumbuhan komisariat hingga ke
daerah-daerah.
Memang waktu disamping sebagai instrumen yang disiapkan Tuhan untuk
menghitung perguliran dari masa ke masa berikutnya, ujian bagi setiap hamba
untuk melakukan perbuatan terbaik, ia juga sebagai salah satu tools
(alat) untuk mengukur daya tahan dari setiap gerakan, lembaga, bahkan
peradaban.
Dalam “Bidadari Surga” Tere Liye melukiskan, “Jika kita ibaratkan, maka peradaban
manusia persis seperti roda. terus berputar, naik-turun. Mengikuti siklusnya.”
0 komentar: