Anak
perempuan hanya untuk dipandang, bukan untuk didengar, demikian Tetsuko Kuroyanagi menggambarkan cara pandang masyarakat
Jepang terhadap kaum perempuan di dalam novelnya Madogiwa no Totto-chan
yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Widya Kirana dengan judul Totto-Chan,
Gadis Cilik di Jendela.
Perbincangan
tentang perempuan memang tidak ada habis-habisnya. Pertama kali Hawa diciptakan
Adam sempat bertanya, “Kamu apa?” bukan “Kamu siapa.” Kala itu Adam tidak
mengerti bahwa Hawa juga makhluk yang serupa dengannya, tapi dengan jenis yang
berbeda. Inilah awal mula laki-laki dan perempuan bertemu dan diarahkan untuk
saling menemani di hari-hari yang akan datang.
Tapi
di sepanjang peradaban umat manusia nasib perempuan pasang surut, namun surut
atau terpuruknya lebih sering mereka alami. Lihatlah bagaimana masyarakat
Yunani kuno memandang perempuan, tidak lebih dari sekedar pemuas nafsu dan
pelayan bagi kaum laki-laki. Dalam tradisi masyarakat Jepang dan Cina perempuan
tidak mendapatkan bagian dari harta warisan yang ditinggal mati kerabatnya. Di
India di tahun-tahun itu seorang istri yang suaminya meninggal tidak punya hak
untuk hidup, ia akan membakar dirinya menjadi abu serupa suaminya yang dibakar
atau menenggelamkan diri ke sungai Gangga.
Peradaban
Persia menghukum laki-laki dan perempuan yang melakukan kejahatan yang sama,
namun parahnya perempuan mendapat hukuman lebih berat dari laki-laki. Sedangkan
masyarakat Arab jahiliyah kala itu menetapkan bahwa perempuan juga tidak
mendapatkan hak waris, bahkan perempuan (istri) itu sendiri diwariskan kepada
kerabat laki-laki yang ditinggalkan. Dan mereka juga malu bila ternyata istri
mereka melahirkan anak perempuan. Muka mereka merah padam, demikian kitab suci
menggambarkan.
Bila
tadi kita sebut peradaban, maka sesungguhnya yang terjadi itu ketidakberadaban
manusia di batang tubuh waktu sepanjang bumi ini terbuka. Kegelapan itulah yang
dikuakkan nabi dengan Islam sebagai lenteranya. Islam datang dan mengingatkan
apa yang dulu pernah Tuhan sampaikan pada Adam dan Hawa bahwa laki-laki dan
perempuan itu sejajar, seiring sejalan, sebukit dan setepian. Bahkan di
beberapa bagian Islam justeru menempatkan perempuan di atas laki-laki;
mendapatkan mahar, dinafkahi, Surga digambarkan berada di bawah telapak kaki
mereka. Dan hebatnya nabi sampai mengatakan bahwa posisi perempuan itu tiga
kali lipat lebih tinggi ketimbang laki-laki, ketika ada sahabat bertanya siapa
dulu yang didahulukan ayah atau ibunya.
Terbaliklah
logika orang-orang yang menempatkan perempuan di remah-remah kehidupan ini.
Celakahlah raja-raja yang menabung perempuan sebagai gundik dan budak-budak pemuas
nafsu. Salah besar masyarakat, bahkan agama yang menyatakan perempuan itu
sebuah kehinaan yang mencoreng muka. Dan kutukanlah yang pantas pada laki-laki
yang mencari perempuan untuk kemudian diabaikan. Mereka lupa bahwa dirinya juga
lahir dari rahim seorang perempuan.
0 komentar: