Visitors

Pidato itu singkat sekali, lebih kurang hanya berdurasi sekitar satu menit, namun penuh emosi, menggetarkan, mengharukan, bahkan dengan...

Read My Child, Read!


Pidato itu singkat sekali, lebih kurang hanya berdurasi sekitar satu menit, namun penuh emosi, menggetarkan, mengharukan, bahkan dengan suara serak dia meneteskan air matanya. Dialah John Robert Lewis yang menyampaikan sambutan singkatnya pada penganugrahan National Book Award 2016Rabu, 17 November – pada kategori young people’s literature yang diserahkan di pusat kota New York, Manhattan. Novel yang berjudul  “March, Book Three” itu merupakan kolaborasinya bersama Andrew Aysin dan Nate Powell.

Di durasi yang singkat itu sekilas Lewis menceritakan kembali masa kecilnya. Ia lahir dari keluarga miskin di Alabama, salah satu negara bagian di Amerika Serikat. Berkulit hitam, karena memang nenek moyangnya berasal dari Afrika, sementara orang tuanya bekerja sebagai petani. Namun di tahun-tahun itu Amerika masih belum sembuh dari kangker rasisnya, sehingga perbedaan ras, warna kulit adalah petaka dan percikan api yang mengobarkan permusuhan.

Menghadapi diskriminasi yang terjadi dibanyak jalan hidup yang dilaluinya dan juga pada sebagian warga negara lainnya, maka ia bertekad menjadi pejuang kemanusiaan dan akan menuntaskan pendidikannya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Cita-cita dan mimpi itu pun kesampaian, ia lulus dari Fisk University pada jurusan Religion and Philosophy. Tetapi semua itu tidaklah mudah, melalui rintangan dan jalan yang berliku.

Ia juga mendidik dirinya menjadi seorang yang ‘gila’ membaca, selalu lapar dengan buku-buku, “I tried to read everything” paparnya. Namun dengan kondisi keluarga yang miskin hanya beberapa buah buku yang bisa ia koleksi di rumahnya masa itu.

Pernah suatu ketika di saatnya usianya masih 16 tahun, ia dan beberapa saudara serta sepupunya pergi ke perpustakaan umum untuk membuat kartu perpustakaan, tetapi sayangnya pihak perpustakaan menolak dengan alasan bahwa mereka tidak berkulit putih, “We were told that the library was for whites only, and not for coloreds.”

“This is unreal. This is unbelievable” ucapnya dengan nafas sesak menahan emosi yang bercampur aduk bagai pusaran air di dadanya. Mendapatkan anugrah National Book Award di malam hari itu baginya betul-betul sulit untuk dipercayai, karena melihat masa lalunya yang penuh kekurangan dan keterbatasan.

Namun ada satu halnya yang sangat disyukurinya, yaitu seorang guru Sekolah Dasarnya. Guru itulah yang menanamkan cinta di hatinya pada buku-buku. “I had a wonderful teacher in elementary school who told me, read my child! Read!”

“I love books” tutupnya.

0 komentar: