Kami warga perumahan terkejut dan menggeleng. Seakan tidak percaya
dengan kabar yang dibawakan presenter berita di sebuah stasiun televisi siang
itu. Tapi ketika kupindahkan ke chanel yang lain pun tak jauh berbeda,
mereka sepertinya sepakat untuk Breaking News dalam berita yang sama. Bagaimana
kami tidak terperanjat karena penyiar itu mengabarkan perihal pemimpin kami, ya
kepala daerah kami yang baru beberapa bulan lalu terpilih dan diresmikan. Dan kini
menurut aparat hukum ia terdakwa dalam kasus korupsi yang juga melibatkan
orang-orang di sebelit pinggangnya.
“Maaf pak, tapi bukankah
kepala daerah ini baru terpilih?” tanya pewancara pada sesi dialog sore hari
itu.
“Saudara, masalah korupsi ini bisa saja terjadi di pangkal, di
tengah, atau di penghujung jabatan seseorang. Tinggal mungkin ada di antara
mereka yang baru terkuak di akhir atau setelah tidak lagi memegang kendali. Tergantung
lengkap atau tidaknya bukti, bukan!”
“Dan bagaimana menurut saudara melihat perihal ini?” sambil
melambaikan tangannya presenter itu kemudian menyilakan penasehat hukum
terdakwa.
“Ah, saya melihat Bapak ini dan teman-temannya terlalu gegabah dalam
memutuskan klien saya sebagai terdakwa, tapi ya kita lihatlah nanti
dipersidangan. Kami juga tentunya mempunyai barang bukti yang segunung
banyaknya.”
Debat dan adu argumen tak dapat dielakkan. Satu persatu
bersitengang urat leher mempertahankan pendapatnya. Masing-masing ingin dilihat
bahwa kebenaran itu berumah dalam mulut mereka.
“Cuma harap dicatat,” ujar pengamat politik di sesi terakhir sambil
menegakkan jari telunjuknya. “Kita patut kasihan pada daerah yang satu ini. Bukankah
untuk kesekian kalinya kepala daerahnya terjerat!”
Berhari-hari kemudian berita itu masih saja diulang-ulang,
didialogkan, diperdebatkan, dikecam, dikasihani, dan dikait-kaitkan dengan ini
dan itu seperti benang yang kian kusut.
***
Kami tinggal di daerah yang kekayaan alamnya tiada tara. Perut bumi
tanah kami menyimpan minyak yang miliaran barrel hitungannya, sementara di
atasnya subur berbagai tetumbuhan yang sebagiannya enggan hidup di tempat lain.
Dan bahkan konon kabarnya ibu kota negara ini pun menyusu ke tanah kami.
Dulu sewaktu sekolah dasar ada pertanyaan tentang daerah terkaya di
negeri ini, tentu saja kujawab ibu kota negara dan kota-kota yang ramai
penduduknya. Kini, setelah dewasa aku yakin jawabanku kala itu salah, karena
justeru daerahku inilah yang benar. Tapi apa aku benar-benar salah? Sebab aku
dan orang-orang sekampungku memang hidup miskin.
“Kau harus rajin belajar dan sekolah tinggi-tinggi Haris,” masih
terngiang petuah bapak bertahun silam, “Karena dengan cara itulah kau bisa mengusir
kemiskinan ini.”
Aku memang menurutinya. Kutinggalkan pelosok kampung di hulu sungai
Rokan sana yang memang hanya menyediakan sekolah dasar. Sementara sekolah menengah
pertama dan atas kuteruskan di ibu kota Provinsi ini. Dan lima tahun lalu tunai
sudah hingga perguruan tinggi. Namun sepertinya petuah bapak itu belum
menemukan tuahnya. Aku tetap saja seperti dulu, miskin. Bekerja sebagai karyawan
rendahan di salah satu perusahaan, cuma sekarang bedanya sudah sarjana.
Namun berita yang menghiasi layar kaca beberapa hari terakhir ini
memberiku jawaban yang lain. bahwa di tanah ini tidak berlaku lingkaran setan
yang mengatakan bahwa orang miskin karena tidak terdidik atau orang tidak
terdidik karena miskin. Aku sekarang meyakini bahwa orang-orang tidak terdidik
dan miskin karena negeri ini salah asuhan. Kami seperti mangsa yang selamat
dari mulut harimau tapi sayang terlempar ke mulut buaya.
***
“Mari Bapak Ibu, jangan lupa diajak keluarga kita untuk datang
memilih kepala daerah pagi ini di lapangan sekolah!” teriakku mengingatkan warga
perumahan beberapa bulan lalu. Lewat penggeras suara seruan itu selalu kuulangi
setiap jam hingga masa pemilihan usai. Kami sebagai panitia bahkan sudah
bekerja sejak sore sebelumnya; menyiapkan tenda, bangku, kursi, tali batas,
kotak suara, dan berbagai pernak pernik lainnya.
Berduyun-duyun warga yang datang di hari itu memberikan hak
suaranya. Suami istri bergandengan tangan sepertinya sudah sehati dalam
pilihan. Anak-anak muda bergerombol sambil memamerkan kartu pemilihannnya
(soalah ingin menyampaikan bahwa mereka sudah dewasa). Orang-orang tua yang
jalannya disangga tongkat pun tiba, memilih dan duduk dalam waktu yang lama
mengingat dan menceritakan kembali pemilu tahun lima-lima. Penjual jamu
gendongan berhenti, penjaja es berhenti. Bahkan ada seorang ibu memangku
anaknya yang tidak sudah-sudah menangis, “Sebentar sayang, Sebentar,” ujarnya.
“Ibu pilih dulu pemimpin yang setidaknya bisa menurunkan harga susumu.”
“Siapa bagusnya saya pilih, Pak Haris?” tanya tetangga sebelah
rumahku separuh berbisik.
“Aih, pilih sajalah salah satu! Jangan lupa sebut nama Tuhan. Semoga
pemimpin kita kali ini tidak seperti yang dulu-dulu lagi.”
Ramainya warga yang datang hingga jam pencoblosan usai membuat kami
penitia merasa lega. Tidak sampai di situ, mereka yang tadinya telah memilih
dan pulang kembali hadir ketika kotak suara dibuka dan nama-nama pasangan calon
dibaca satu persatu. Sesekali ketika satu nama mengungguli nama lainnya
sekelompok orang berteriak, sepertinya itu pilihan mereka. Begitu pun
sebaliknya. Tapi hingga surat suara terakhir dibacakan tidak ada di antara para
pendukung yang saling serang, saling caci maki dan merendahkan. Kami bahkan
penutup prosesi itu dengan doa bersama, berharap siapa pun terpilih nantinya
bisa menggeser hidup kami ke arah yang lebih baik.
***
Sore itu sepulang dari perusahaan kulihat mahasiswa sesak di jalan
raya depan gubernuran, sebagian merangsek ke pintu pagar yang dijaga ketat oleh
petugas keamanan. Macet pun tak dapat dielakkan, kendaraan beringsut bagai
siput. Sesekali jalan untuk kemudian berhenti dalam waktu yang panjang. Bunyi
klakson tanpa henti pecah dengan pekikan, teriakan mahasiswa yang berorasi
bergiliran.
“Tit! Tiit! Tiiit! Tuuut!
“Saudara-saudara! Baru beberapa hari yang lalu rasanya kita memilih
pemimpin. Ternyata yang terpilih juga pemimpin yang membawa luka.”
“Turunkan! Turunkan! Turunkan!”
“Tit! Tit! Tuut!”
“Miliaran anggaran yang ditelan dalam pemilihan itu tak membawa
arti apa-apa, saudara-saudara!”
“Ganti! Ganti! Ganti!”
“Tit! Tut! Tit! Tut!
“Kita sebagai generasi muda malu dengan kepala daerah seperti ini, kawan-kawan
sekalian! Di media lokal dan nasional yang dibicarakan cuma kurap yang tak
pernah sembuh di negeri ini! ini pemimpin kita yang ketiga kalinya terjerat
dalam kasus korupsi!”
“Tiiit! Tuuut!”
“Hidup mahasiswa! Hidup mahasiwa!” kepalan tangan dan poster
bergambar tiga ekor tikus yang dikerangkengi diangkat tinggi-tinggi.
“Ah, kita lihat besok ketika mahasiswa-mahasiswa itu jadi
pemimpin!” Pengendara motor di sampingku buka mulut. Asanya sepertinya sudah
putus.
***
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Setelah istri dan anakku
tidur kubuka buku dan kembali larut dalam bacaan. Aku sangat menggemari bacaan
yang berbau fiksi, tidak tahu apakah dengan cara ini aku menenggelam kesulitan
hidup, entahlah. Namun, rasanya ada ruang kosong di dalam sana yang bisa
dipenuhinya. Sesaklah lemari bukuku dengan karya-karya sastra berupa novel,
cerita pendek, puisi, dan lainnya. Umumnya karangan penulis dari dalam negeri,
walau pun beberapa ada terjemahan.
Malam ini tiba-tiba saja hatiku tergerak mengambil buku Tunjuk Ajar
Melayu yang ditulis mendiang datuk Tennas Effendy. Berita minggu-minggu ini
membawaku untuk membuka perihal pemimpin dalam tradisi Melayu.
Kalau hendak memilih pemimpin: Jangan dipilih karena duitnya/Jangan
dipilih karena kayanya/Jangan dipilih karena sukunya/Jangan dipilih karena
pangkatnya.
Bertuah ayam ada induknya/Bertuah serai ada rumpunnya/Bertuah rumah
ada tuanya/Bertuah negeri ada rajanya/Bertuah imam ada jemaahnya.
Ah, begitu besarkah kawah yang menganga, pikirku.
Tanah Luka, 2016
0 komentar: