Awal tahun dua ribuan adalah tahun-tahun Aa Gym mulai naik daun.
Seorang dai yang selalu berpenampilan menyejukkan dengan sorban yang melilit di
kepalanya. Ceramah-ceramahnya selalu disesaki dan diminati pendengar, termasuk
ketika ia tampil di masjid Istiqlal dengan dihadiri presiden Indonesia ke
empat, Megawati Soekarno Putri. Demokrasi kita yang baru saja berbenah di
berbagai sektor memang membukakan peluang bagi siapa pun untuk mendirikan panggungnya
masing-masing, walaupun terkadang itu euforia yang meledak-ledak bagai tanggul
yang jebol paska kediktatoran rezim yang berlangsung puluhan tahun lamanya.
Buku yang berjudul Aa Gym dan Fenomenan Daarut Tauhiid yang
diterbitkan Mizan adalah di antara buku yang saya gemari dan koleksi masa itu
di pesantren. Buku itu mengisahkan perjalanan hidup beliau hingga muncul ke
publik dengan falsafah ‘Menajemen Qalbu.’ Berasal dari keluarga dengan asuhan
yang disiplin karena ayahnya merupakan seorang tentara, berinteraksi dengan
saudara yang saling menasehati, merintis usaha ketika sekolah dan kuliah dengan
semangat mandiri, terlibat di berbagai organisasi, dan juga perihal membuncahnya
hati begitu mendengar kumandang Azan.
Sosok Aa Gym betul-betul oase di tengah situasi bangsa yang masih
menghadapi turbulensi. Tahun-tahun itu adalah tahun politik yang gaduh dengan
siklus kepemimpinan yang belum stabil. Partai-partai politik bermunculan
sesaat, untuk kemudian menyusut dan hilang entah ke mana setelah deal
kesepakatan bergabung dengan partai politik lainnya yang telah lulus
verifikasi. Maka di tengah situasi itulah Aa Gym dengan keteduhan wajah, kelembutan
kata-kata dan kecernihan hati muncul untuk mengingatkan bahwa ada organ penting
yang perlu kita selamatkan dalam kondisi bangsa yang karut-marut itu.
Jagalah
hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Illahi
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Illahi
Dan malam itu, bertahun kemudian. Di sepertiga malam ketika
semburat cahaya Bulan timbul tenggelam di sela mega-mega yang berarak, ketika
para Malaikat mengetuk pintu-pintu rumah yang penghuninya terjaga dalam
kesyahduan zikir pada Tuhanya, saya dibangunkan teman-teman KAMMI yang lagi mabit
bersama di masjid Darut Tauhid, Geger Kalong-Bandung. Sementara di mihrab
lelaki itu telah berdiri dalam shalatnya. Aa Gym.
Tentu saja saya terkesiap, inilah sosok yang beberapa kaset
ceramahnya dulu saya koleksi, ditunggu-tunggu kapan munculnya di Televisi dan
sangat kesal begitu nongol teman yang lain justeru memindahkan ke chanel
yang berbeda. Dan juga sosok yang berhasil sesaat merubah gaya berpidato saya
dari Zainuddin MZ style menjadi kesunda-sundaan.
Setelah Subuh ia lanjutkan dengan tausyiah yang terhubung dengan
Radio pesantren Darut Tauhid tersebut. Pesan-pesan dan nasehatnya bagai air
dingin yang menyelusup ke sanubari, mengingatkan diri yang berjarak jauh dengan
para salafus shaleh, baik waktu, ibadah, mau pun kontribusi pada agama. Sesi Subuh itu kemudian ia tutup dengan
untaian doa, dan doa-doa itu mengundang air mata.
Wahai Tuhanku! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam
neraka Jahim
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku,
sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar
***
0 komentar: