KAMMI Bandung 2008
Halo-halo
Bandung
Ibukota periangan
Halo-halo Bandung
Kota kenang-kenangan
Sudah lama beta
Tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi lautan api
Mari bung rebut kembali
Ibukota periangan
Halo-halo Bandung
Kota kenang-kenangan
Sudah lama beta
Tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi lautan api
Mari bung rebut kembali
Bila di langit hanya ada kosa kata ‘kepastian,’ maka di bumi
seringkali kita menggunakan imbuhan ‘kebetulan.’ Kata itu terlahir dari kecilnya
kolam pengetahuan yang kita miliki bila dibandingkan dengan lautan
ke-Maha-Tahu-an Tuhan yang merupakan the creator (pencipta), dan mengerti
arah dan arus takdir ke mana saja seorang hamba di labuhkan.
Di tengah-tengah pelaksanaan Silatnas FLP saya mendapatkan kabar
dari ketua Kaderisasi KAMMI Riau, bang Idral bahwa di Bandung akan dilaksanakan
DM2 pada tanggal 23 hingga 27 Juli tahun itu, 2008. Kebetulan sekali, karena
memang sudah dua tahun sejak masa pengkaderan saya belum melanjutkan ke jenjang
berikutnya, padahal dalam manhajnya minimal enam bulan paska AB1 sudah bisa
mengikuti DM2, tentunya dengan capaian Muwasshafat (karakter) yang mesti
sudah ditunaikan dan evaluasi selama AB1.
Maka ketika berakhir Silatnas FLP tanggal 13 saya langsung bertolak
menuju kota Bandung. Sementara tiga teman lainnya kembali ke Pekanbaru. Di
perjalanan dengan menggunakan bus menuju kota Kembang, salah satu yang teringat
adalah lagu Nasional yang digubah oleh Ismail Marzuki – walaupun masih
diperdebatkan – yang menggambarkan semangat penduduk kota Bandung yang dengan
suka rela membakar rumah-rumah mereka sendiri supaya tidak diambil alih oleh
Sekutu dan tentara NICA Belanda kala itu. Sejarah mencatat bahwa tidak kurang
dari satu jiwa penduduk kota tersebut meninggalkan lautan api yang telah
menghanguskan tempat tinggal mereka dan memilih pergi ke pegunungan di sebelah
Selatan Bandung. Ternyata di balik dinginnya hawa kota ini, ia menyimpan
sejarah yang panas membara.
Lebih kurang lima jam perjalanan sampailah saya di sekretariat KAMMI
daerah Bandung yang beralamat di jalan Awibitung, Cicadas-Bandung. Sebuah rumah
sederhana dan terkesan tua yang sepertinya telah berganti-ganti tangan orang
yang menempatinya. Namun dari rumah pergerakan itulah anak-anak muda Kamda
bandung lahir satu persatu menjadi lentera yang kelak menerangi di mana pun mereka
berada.

“What can we do? We can do much! We can inject the voice of
reason into world affairs. We can mobilise all the spiritual, all the moral,
all the political strength of Asia and Africa on the side of peace.” Demikian
di antara penyampaian bung Karno yang mengingatkan banyaknya sumber daya yang
dimiliki negara-negara Asia-Afrika untuk mewujudkan perdamaian dunia. Pidato
yang disambut tepuk tangan gemuruh para peserta konferensi.
Delapan hari itu pun masih kurang untuk lebih detilnya menyambangi
tempat-tempat sejarah kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan
Hindia-Belanda itu. Alun-alun, Kilometer 0-nya, Gedung Sate yang merupakan
kantor Gubernur Jawa Barat, masjid Raya yang berada di sebelah alun-alun yang
sandal saya pernah raib di halamannya. Termasuk juga beberapa kampus besar, di
antaranya Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dulu bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng(TH te Bandoeng).
***
0 komentar: