Di
waktu masih kecil dulu atau semasa kita di Sekolah Dasar (SD) pernahkah kita
saling menjodohkan? Kita memasangkan seorang teman dengan teman lainnya,
kemudian tiap kali bertemu kita akan panggil dia dengan nama orang yang kita
pasangkan tersebut. Atau kita sendiri yang mereka perlakukan demikian. Dan
biasanya kalau hal itu terjadi kita akan marah, menangis, atau juga senang,
sesuai perasaan pas atau tidaknya dengan siapa kita dijodoh-jodohkan.
Tapi
berselang waktu dengan meningkatnya kedewasaan kita tidak lagi melakukan hal
itu. Kita melihat perjodohan itu tidak lagi boleh dimain-mainkan, dan bahkan
dengan semakin bartambahnya usia sama sekali tidak ada lagi keberanian
memperguraukannya. Muncullah keseriusan dengan syarat-syarat yang kita buat.
Bahwa calon kita itu berfisik seperti ini, berlatar pendidikan seperti itu,
kalau bisa begini, akan lebih bagus kalau begitu, dan lain sebagainya.
Kita
lihat, kita tunggu. Ada yang seperti ini tapi kurang di situ. Ada yang
punya latar belakang pendidikan
demikian, namun sayang tidak begitu. Dan banyak lagi yang lainnya, seperti
menggulai ikan tapi kurang bumbu, yang itu lengkap resepnya tapi sayangnya
hanya gulai daun singkong. Ada yang menurut kita pas dengan kriteria yang kita
susun, tapi sayang kitanya yang tidak cocok dengan kriterianya.
Biasanya
mereka yang berkeras dengan standar yang dibuatnya berupa casing itu
lupa bahwa disaat kita memilah milih orang juga sedang memilah milih kita. Dan
kalau pun suatu saat nanti ketemu yang diminta, maka tidak jarang setelah
berlangsung pernikahan dan berlalu waktu akan surut kasih sayangnya seiring
melelehnya kriteria yang berupa tampilan tersebut.
Agama
mengajarkan bahwa hanya satu yang boleh melunturkan kasih sayang yaitu
hilangnya nilai keimanan. Dan bahkan pada puncaknya kita tidak dibolehkan lagi
hidup bersama dengan orang yang dadanya kosong dari keimanan tersebut. Karena
pemisah asasi itu adalah keimanan, maka harusnya pondasi utama membangun rumah
tangga itu juga keimanan. Seorang budak yang beriman lebih baik dari pada orang
merdeka yang musyrik.
Tapi
lihatlah mereka yang berpegang dengan sekumpulan kriteria itu seiring bertambah
umur genggamannya akan melemah, dan satu persatu mulai dia korting. Sampai pada
akhirnya dia katakan jodoh harus sudah ditemukan, dan kriteria tidak lagi
penting. Bahkan celakanya ia pun menerima seseorang yang mempesekutukan Tuhan.
Berhentilah
bertahan pada sesuatu yang sifatnya relatif atau nisbi, apakah relatif dari
cara pandang orang-orang atau relatif dari daya tahan sesuatu itu sendiri. Melangkahlah
pada yang absolute (mutlak), yang Tuhan jamin keberlangsungannya di
mana-mana musim dan tempat.
Kesempurnaan
pasangannya hanya kesempurnaan. Kita akan dipertemukan dengan kesempurnaan
begitu kita sudah mendekatinya. Dan Jodoh itu sedikit banyaknya bisa kita lihat
lewat memandang diri sendiri.

0 komentar: