“Mereka
disekap bukan karena mereka seorang penjahat, melainkan mereka hanya
mengusahakan kebebasan seperti yang orang lain rasakan di negeri-negeri
merdeka.” Demikian di antara pengantar yang ditulis oleh mantan Perdana Menteri
Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad dalam buku yang kita ketengahkan kali ini yang berjudul
‘The Prisoners’ Diaries’ karya Norma Hashim et. el. Kemudian dialih bahasakan
oleh Tim Sahabat Al-Aqsha dengan judul ‘Catatan dari Balik Penjara Israil.’
Penangkapan,
penyiksaan dan penderitaan seolah sudah lumrah di tanah Palestina. Tidak siang,
tidak malam semua itu berlangsung dari tahun ke tahun, tanpa pernah jelas di
mana ujungnya. Sudah berbilang runding dan negosiasi yang dilakukan, namun yang
ada tetap saja pertumpahan darah yang kembali terserak. Dan sejak tahun 1967
sudah terhitung lebih kurang 800.000 warga Palestina yang ditangkap dan
mendekam dalam penjara Israil.
Bagi
warga Palestina kematian lebih mereka pilih dari pada hidup dalam tawanan
Zionis Israil. Mereka menyebutnya kuburan, namun lebih menyakitkan. Bila di
kuburan sebenarnya yang di masukkan adalah orang yang telah meninggal, maka di
‘kuburan’ yang satu ini justeru manusia yang masih bernafas. Penyiksaan berupa
fisik dan mental silih berganti, penyiksaan yang sering berakhir ketika tawanan
telah pingsan. Dan jangan coba-coba mengaduh dan minta dirawat, sebab yang ada
hanya penyiksaan tambahan. Seperti yang dituturkan salah seorang tawanan,
Ibrahim Joundia, “Ketika berada di dalam penjara, klinik penjara bukanlah
tempat untuk meredakan rasa nyeri, melainkan justeru memperparah rasa sakit”
(hlm 67).
Tidak
hanya tawanan dari kaum laki-laki yang mendapatkan siksaan yang berat, kaum
wanita pun merasakan penderitaan yang sama, bahkan ancaman pemerkosaan
merupakan ancaman yang tak tertanggungkan. Wafa Albis salah seorang pejuang
wanita yang pernah mencoba meledakkan bom bunuh diri karena kekesalannya pada
tentara Israil yang membunuh dua orang anak di depan matanya, tapi sayang bom
tersebut tidak meledak, “Alih-alih pergi ke surga, Allah menghendakiku pergi ke
kandang Zionis” (hlm 108). Di sana ia dipukuli oleh tiga sipir perempuan hingga
jari tangannya patah. “Aku tidak melihat seorang pun kecuali sipir-sipir
kriminal yang mengancam akan memperkosaku. Itulah mimpi terburukku” (hlm 110).
Inilah
penahanan yang kabur pengadilannya. Tidak ada ketentuan yang bisa dipegang
berapa lama di penjara dan kapan keluarnya. Seperti Abdulrahman Shihab yang ditahan
selama 23 tahun, Arina Sarahna 20 tahun, Alaa’ Albazyan 25 tahun, Na’el
Albarghothi 33 tahun (tahanan yang paling lama, ia menikah sebulan setelah
keluar pada usia 54 tahun). Dan tahanan-tahanan lainnya yang hampir tidak
ditemui masa di bawah 15 tahun.
Para
tahanan itu tersebar di 19 penjara yang berada di kawasan Israil (hanya 1 di
Pelestina). Penahanan yang tentunya ilegal secara hukum internasional. Dan begitu ada keluarga
yang ingin menjenguk maka mesti melewati regulasi yang berbelit-belit (tepatnya
dipersulit). Bahkan di antara mereka ada yang syahid sebelum sampai ke penjara
di mana keluarganya di tahan.
Buku
ini tentunya satu di antara buku-buku Palestina lainnya yang menyingkapkan
kepada kita penderitaan yang dialami warga Pelestina dalam usaha memerdekakan
negerinya. 24 orang penutur yang sebelumnya pernah di tahan membeberkan secara
gamblang hari-hari kelam mereka di tahanan Zionis Israil tersebut. Paling tidak
dengan membaca buku ini kita bisa menceritakan kepada kepada orang-orang di
sekitar kita, dan dengan itu semoga menumbuhkan kesadaran dan kepedulian pada
warga Pelestina yang masih saja terjajah di saat kita mengecap manisnya
kemerdekaan.
Judul : The Prisoners’ Diaries
Penulis : Norma Hashim at. el.
penerbit : Pro-U Media
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal : 127 halaman
0 komentar: