“Sewaktu
masih muda aku bersumpah kelak – kalau punya uang banyak – akan membelikan ibu
baju bagus, membawanya ke restoran mahal, dan bepergian ke luar negeri.
Ternyata semua itu tidak pernah terjadi.” Demikian tulis Lee Myung-Bak, bocah
miskin dari Pohang yang pada 25 Februari 2008 dilantik sebagai presiden Korea
Selatan.
Kalau
ada orang yang mencintai kita setulusnya – setelah Tuhan dan nabi – maka ibulah
orangnya. Cobalah diingat-ingat kembali persembahan ibu kepada kita, tidak
bisakan kita sebut satu persatu! Karena di diri mereka tersimpan sifat
ketuhanan untuk memberi tanpa pamrih, tanpa kenal lelah, waktu, dan jeda.
Tidak
ada ibu yang lebih baik dari ibu-ibu lainnya, semua mereka ingin
mempersembahkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Cuma terkadang keterbatasanlah
yang merintangi niat baik mereka itu. Ingatlah ketika ibu mengatakan tidak
punya selera pada makanan yang diserahkannya pada kita. Bukan, bukan tidak ada
selera, itu hanya bahasa yang dia selipkan supaya makan kita kenyang dan tidak
terbagi dengannya.
Suatu
hari Lee Myung-Bak ditolak masuk militer lantaran kondisi kesehatannya yang
lemah. Ia kemudian pulang dan menceritakan pada ibunya apa yang terjadi. “Bak,”
ujarnya dengan air mata berurai, “Aku tidak tahu kesehatanmu ternyata separah
ini. Maafkan aku, ini pasti gara-gara ampas yang kuberikan sewaktu kau masih
kecil. Ini pasti gara-gara aku tidak merawatmu ketika kau sakit. Maafkan aku.”
Berapa
sering kita mengatakan tidak ada waktu libur? Sementara ibu datang menemui kita
di tengah-tengah kesibukannya. Betapa sering kita mengatakan tidak punya atau
hanya sedikit uang? Sementara ibu memberikan apa yang kita minta tanpa pernah
menunjukkan keluhan dan kebingungan. Padahal di belakang ia menangis, tidak
tahu dari mana atau kepada siapa ia akan meminjam uang yang akan diberikan pada
anak-anaknya.
Kita
menyebut jarak yang jauh, ibu bilang hanya berapa jam bersabar. Kita ungkapkan
ongkos yang naik, ibu katakan tidak sebanding dengan kerinduan. Bagi wanita
yang pernah melahirkan seseorang dari rahimnya, ia bahkan siap mempersembahkan
kematian demi kehidupan anaknya. Dan dalam pelukan mereka terdapat taman surga
yang kapan pun pintunya selalu terbuka.
Sebelum
benar-benar berakhir, temuilah ibu yang maafnya mendahului kesalahan kita yang
berserak bagai anak-anak batu di pasir pantai. Temuilah ibu yang menyembunyikan
kesedihannya demi keceriaan kita anak-anaknya. Temuilah ibu yang lupa mendoakan
dirinya sendiri karena menyebut-nyebut nama dan keinginan kita.
“Ya
Rasulullah,” ujar salah seorang sahabat, “Aku telah menggendong ibuku dari
rumah sejauh 9,6 km dan aku ajak berthawaf dan berhaji. Apakah aku sudah bisa
membalas jasa ibundaku? Rasulullah menjawab, "Belum cukup". Seperti
itulah nabi mengumpamakan lautan kasih tidak bertepinya ibu yang mustahil disebrangi.
0 komentar: