Beberapa waktu setelah
Prof. DR. Muhammad Nazir menyelesaikan tugasnya sebagai Rektor UIN Suska Riau
di periode ke-dua saya sempatkan berkirim pesan ke beliau (sms) yang isinya doa
semoga apa yang telah beliau lakukan dibalas oleh Allah dan tetap sehat di
hari-hari pengabdian berikutnya, serta ucapan terima kasih atas bimbingan
beliau selama beberapa waktu intensitas saya dengannya semasa di Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) beberapa tahun silam.
Sesaat kemudian beliau
pun membalasnya yang isinya ucapan terima kasih kembali dan permintaan maaf
atas segala kesilapan yang dulu mungkin tanpa sengaja pernah beliau lakukan.
***
Ini sekelumit cerita
saya dengan salah seorang Guru Besar yang pernah menjabat sebagai Rektor di
salah satu kampus besar di bumi Lancang Kuning ini. Terlalu dekat tidak, tetapi bila dibandingkan teman-teman yang diamanahkan di BEM di beberapa kampus kala itu
saya termasuk perwakilan mahasiswa yang mendapatkan akses paling mudah dengan
Rektornya. Ini saya ketahui setelah berdiskusi dengan beberapa aktivis kampus lainnya.
Dan kedekatan ini saya
bangun bukan setelah saya di BEM saja, beberapa semester sebelum itu saya sudah
beberapa kali berdiskusi; baik di acara seminar-seminar yang beliau sebagai
pembicaranya, mau pun di ruangan beliau.
Pernah dalam suatu
seminar beliau memaparkan tentang Islamisasi Sains yang beliau sendiri lebih
meyakini sebaliknya, bahwa tidak ada Islamisasi Sains justeru yang ada itu kita
mengambil alih kembali apa yang pernah dimiliki oleh umat ini. Saya sempat
mengajukan pertanyaan kala itu, dan lepas seminar saya utarakan hendak
berdiskusi lebih lama tentang apa yang tadi disampaikannya. Beberapa hari
berikutnya saya berkunjung ke ruang beliau dan beliau sempat memberikan sebuah
buku yang terkait bahasan seminar beberapa hari yang lalu.
Dan di
semester-semester awal ini saya sudah sering menyampaikan khotbah hari Jumat
yang dihadiri para akademisi kampus, termasuk Rektornya.
Saya kira ini sedikit
pengalaman yang oleh sebagian teman-teman mahasiswa seringkali dilalaikan.
Bahkan mirisnya kalau ada yang menyelesaikan studinya tanpa mengenali pucuk
pimpinan di institusi tersebut; baik Dekan mau pun Rektornya. Pada hal mereka
yang duduk di tempat tersebut tentu ada sesuatu sebab dan sebab itulah yang
mesti kita pelajari, mungkin daya juangnya dalam belajar, kecakapannya dalam
bekerja, komunikasinya, dan tak kalah penting apa yang disebut dengan
kebijaksanaannya (wisdom). Dan saya secara pribadi di mana pun berada, baik
semasa studi mau pun di dunia kerja pimpinan adalah guru terbesar tempat kita
mengeruk pengetahuan dan sikap hidup.
***
Lain waktu saya pernah
sampaikan juga tentang kehadiran beliau di acara salah satu Televisi yang ada
di Riau ini yang hanya sekedar mensosialisasikan UIN Suska Riau. Menurut saya
kasihan seorang Rektor memerankan hal tersebut, yang mestinya bisa diwakili
beberapa Pembantu Rektor (sekarang Wakil Rektor) atau Humas. Dan beliau
harusnya tampil di Televisi-televisi Nasional, berkaca dengan beberapa Rektor
lainnya.
***
Di tahun tersebut juga terjadi kehebohan yang cukup besar. Saya sebagai
perwakilan mahasiswa di demo oleh mahasiswa sendiri yang jumlahnya lebih kurang
seratus orang. Dari hasil pengamatan saya para mahasiswa ini digerakkan oleh
salah seorang calon Wakil Rektor III, dan sebabnya dicari-cari bahwa saya
menggunakan uang mahasiswa untuk kepentingan pribadi.
Tapi di tahun ini jugalah
kali pertama pemelihan Wakil Rektor III dengan memaparkan visi-misinya di depan
mahasiswa. Saya sampaikan ke Rektor bahwa Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan
mestilah mantan aktivis mahasiswa, yang pernah berkecimpung di
organisasi-organisasi mahasiswa. Dan yang tak kalah pentingnya jangan sulit
ditemui dan berkomunikasi dengan mahasiswa.
Rektor mempersilahkan
debat tersebut diselenggarakan, walaupun nanti yang memilih tetap senat
Universitas. Namun yang pastinya yang bakal jadi Wakil Rektor III bukanlah
orang dari suku Ocu, karena Wakil Rektor yang lainnya berasal dari suku
tersebut. Bagi saya orang dari suku mana pun tidak masalah yang jelas punya kapabilitas
dengan amanahnya. Cuma sayangnya terkadang kampus yang merupakan tumpuan
moralitas juga berseliweran politik kekuasaan untuk memperkaya individu.
Sore itu sekitar pukul
17.45 saya telfon Rektor dan beliau ternyata sudah pulang. Saya utarakan bahwa
ada yang perlu saya sampaikan langsung ke beliau, karena besok pemilihan Wakil
Rektor III-nya. Menjelang magrib beliau hadir kembali ke ruangan dan saya
bersama seorang kawan menemuinya. Terjadilah percakapan tentang bagaimana
berjalanannya debat tadi pagi, dan terakhir siapa yang direkomendasikan. Saya
rekomendasikan untuk dipilih esok hari adalah Drs. Sudirman M.Ag.
Saya bisa pastikan
semasa pak Dirman inilah ruang Wakil Rektor III menjadi ruang mahasiswa. Beliau
tidak segan berjalan kaki keliling kampus melihat kegiatan-kegiatan mahasiswa. Pidato-pidatonya
memotivasi mahasiswa, tegas dengan uang yang tidak jelas rimbanya. Pernah pada
waktu buka bersama di sebuah Rumah Makan beliau datang mengendarai sepeda motor dengan seorang anak laki-lakinya, sedangkan
istri dan seorang anak perempuannya menaiki angkot. Bahkan konon (menurut
ceritanya) gaji tambahannya sebagai Wakil Rektor didermakan ke mahasiswa untuk
menambah dana kegiatan. Dan sejujurnya inilah kepentingan saya kenapa
merekomendasikan beliau, bahwa Wakil rektor bidang Kemahasiswaaan mesti membaur
dengan mahasiswa, disamping muda dan enerjik.
Namun sayangnya setelah
saya tidak lagi di BEM Universitas, saya dapat kabar beliau mengundurkan diri
karena berbagai intrik politik di kampus.
Sedangkan dengan Rektor
seusai di BEM saya sudah jarang bertemu, kecuali ada hal-hal penting yang mau didiskusikan.
Termasuk misalnya berdiskusi tentang tugas akhir saya di Jurusan Bahasa Arab,
dan beliau juga dari latar belakang yang sama. Dan di antara pelajaran lain
yang saya dapatkan bahwa pemimpin bisa melakukan perobahan besar kalau di
kelilingi oleh orang-orang yang juga berfikir besar.
Kematian bisa
mendatangi kita kapan pun, namun cerita kita tidak boleh ikut dikuburkan
0 komentar: