Visitors

Di pagi lebaran orang-orang mati bergelimpangan, bahkan melebihi apa yang terjadi di Ekuador sana. Bila di negara yang terletak di Amerika ...

Lebih dari Ekuador; Tragedi Kampung Matinya Griven

5 Fakta Corona di Ekuador yang Sempat Laporkan 6.000 KematianDi pagi lebaran orang-orang mati bergelimpangan, bahkan melebihi apa yang terjadi di Ekuador sana. Bila di negara yang terletak di Amerika Selatan itu jumlah penduduk lebih kurang 17 juta dan yang meninggal hampir 3 ribu orang, maka belum ada apa-apanya bila dibandingkan kematian di pagi itu.

Dari segi jumlah memang sedikit, tetapi tewas semua. Ayo besar mana persentasenya? Bahkan tidak hanya manusianya saja yang punah, rumah dan pepohonan pun ikut rebah.

Ustad muda itu kini hanya bisa terduduk di tanah, menatap sampah dan mayat yang berserak di mana-mana, "Kini ia seperti seorang anak yang baru saja dimarahi seseorang, dan menunggu ayahnya segera pulang," demikian penulisnya mengilustrasikan.

Cerpen yang ditulis Putera Herrie atau Griven yang berjudul "Idulfitri di Kampung Mati" ini dimuat di Riau Pos 8 tahun lalu. Membaca cerita ini adalah membaca virus yang lebih korona dari korona.

Ceritanya seorang ustad muda yang bernama Musa baru saja tiba di sebuah kampung dengan tujuan memenuhi undangan khotbah Idulfitri esok harinya. Kehadirannya petang itu disambut hujan lebat yang mengguyur kampung sejadi-jadinya.

Untungnya pada masjid yang ditujunya itu ia dapati seorang Siak (penunggu masjid) yang tengah menggulung sajadah karena khawatir hujan bakal masuk dan membasahi alas sembayang tersebut.

Singkat cerita malam itu ia dan Siak yang sudah berumur itu harus tidur di masjid, karena hujan tak ada redanya, dan juga karena pengurus yang menghubungi dia dan memintanya menjadi khatib ternyata tadi pagi pulang ke kampungnya dengan alasan ada keluarga yang meninggal.

Kian malam hujan mengucur terus, ditimpali kilat dan guruh yang saling bersahutan.

Di malam yang alamnya tengah menggila itu terbukalah satu rahasia. Rahasia itu meluncur dari mulutnya Siak Haidir itu, sementara Musa lebih banyak mendengar saja.

Tetapi, bukan sembarang rahasia.

Bukan rahasia kenapa tiba-tiba Si Tanggang mau pulang dan berlabuh di muara kecil kampungnya. Bukan juga rahasia kenapa Yung Dolah begitu piawainya melucu. Atau juga rahasia buku apa yang dibaca orang-orang tua dulu hingga kobanya tak berkesudahan.

Bukan!
Rahasia kali ini adalah perkara agama yang diabaikan, soal penyakit sosial yang kian merebak dan pendurhakaan pada Tuhan yang makin menjadi-jadi saja di kampung terpencil itu.

Pencurian dan perampokan beraksi setiap malam, judi dan miras terbuka dan bebas di sepanjang jalan, anak-anak gadis pun seperti berlomba hamil di luar nikah tiap bulannya, sementara pelacuran dan selingkuhan sudah seperti makan dan minum berdiri yang sudah dianggap biasa.

Semua abai, tak peduli, tak ambil pusing.

Aparatnya masa bodoh yang penting gaji dan upeti mengalir, guru dan pendidik asal mengajar tanpa perlu mengukur hasil dari perubahan sikap dan perilaku, bahkan "Sebagian ustad," ujar Siak itu sepertinya geram, "Hanya pandai ceramah di masjid dan tempat-tempat wirid"

Untuk kesekiankalinya kilat dan petir menyambar menggelegar, seperti juga emosinya pak Haidir yang kian membuncah.

Ustad Musa tertidur sambil memeluk potongan asanya.

Dan esok hari, ketika matahari fitri terbit, terjadilah apa yang terjadi.

(Sabtu, 23 Mei 2020)

 

 





0 komentar: