
Dari segi jumlah memang sedikit, tetapi tewas semua. Ayo besar mana
persentasenya? Bahkan tidak hanya manusianya saja yang punah, rumah dan
pepohonan pun ikut rebah.
Ustad muda itu kini hanya bisa terduduk di tanah, menatap sampah
dan mayat yang berserak di mana-mana, "Kini ia seperti seorang anak yang
baru saja dimarahi seseorang, dan menunggu ayahnya segera pulang,"
demikian penulisnya mengilustrasikan.
Cerpen yang ditulis Putera Herrie atau Griven yang berjudul
"Idulfitri di Kampung Mati" ini dimuat di Riau Pos 8 tahun lalu.
Membaca cerita ini adalah membaca virus yang lebih korona dari korona.
Ceritanya seorang ustad muda yang bernama Musa baru saja tiba di
sebuah kampung dengan tujuan memenuhi undangan khotbah Idulfitri esok harinya.
Kehadirannya petang itu disambut hujan lebat yang mengguyur kampung
sejadi-jadinya.
Untungnya pada masjid yang ditujunya itu ia dapati seorang Siak
(penunggu masjid) yang tengah menggulung sajadah karena khawatir hujan bakal
masuk dan membasahi alas sembayang tersebut.
Singkat cerita malam itu ia dan Siak yang sudah berumur itu harus
tidur di masjid, karena hujan tak ada redanya, dan juga karena pengurus yang
menghubungi dia dan memintanya menjadi khatib ternyata tadi pagi pulang ke kampungnya
dengan alasan ada keluarga yang meninggal.
Kian malam hujan mengucur terus, ditimpali kilat dan guruh yang
saling bersahutan.
Di malam yang alamnya tengah menggila itu terbukalah satu rahasia.
Rahasia itu meluncur dari mulutnya Siak Haidir itu, sementara Musa lebih banyak
mendengar saja.
Tetapi, bukan sembarang rahasia.
Bukan rahasia kenapa tiba-tiba Si Tanggang mau pulang dan berlabuh
di muara kecil kampungnya. Bukan juga rahasia kenapa Yung Dolah begitu
piawainya melucu. Atau juga rahasia buku apa yang dibaca orang-orang tua dulu
hingga kobanya tak berkesudahan.
Bukan!
Rahasia kali ini adalah perkara agama yang diabaikan, soal penyakit
sosial yang kian merebak dan pendurhakaan pada Tuhan yang makin menjadi-jadi
saja di kampung terpencil itu.
Pencurian dan perampokan beraksi setiap malam, judi dan miras
terbuka dan bebas di sepanjang jalan, anak-anak gadis pun seperti berlomba
hamil di luar nikah tiap bulannya, sementara pelacuran dan selingkuhan sudah
seperti makan dan minum berdiri yang sudah dianggap biasa.
Semua abai, tak peduli, tak ambil pusing.
Aparatnya masa bodoh yang penting gaji dan upeti mengalir, guru dan
pendidik asal mengajar tanpa perlu mengukur hasil dari perubahan sikap dan
perilaku, bahkan "Sebagian ustad," ujar Siak itu sepertinya geram,
"Hanya pandai ceramah di masjid dan tempat-tempat wirid"
Untuk kesekiankalinya kilat dan petir menyambar menggelegar,
seperti juga emosinya pak Haidir yang kian membuncah.
Ustad Musa tertidur sambil memeluk potongan asanya.
Dan esok hari, ketika matahari fitri terbit, terjadilah apa yang
terjadi.
(Sabtu, 23 Mei 2020)





0 komentar: