Dulu
tiap kali ada teman yang mengatakan tidak tahu alamat, saya langsung bertanya, “Apakah
ada nampak orang di sana?”
Artinya
selama ada orang, maka tidak perlu ada kebingungan.
Iya-kan?
Kecuali
kita kesasar di hutan belantara, yang komunikasi spesiesnya berbeda dengan yang
biasa kita lakukan pada sesama manusia.
Nah,
sekarang, di zaman teknologi ini pertanyaannya berganti, “Apakah di sana ada
sinyal?”
“Tentunya
harus ada paket,” demikian UAS berulang mengatakan pada kasus videonya yang
tidak bisa ditonton atau ebook-nya yang tidak bisa di-download.
Tentunya
harus ada paket, tetapi sinyal itu sarat utama. Sampai di kampung saya di
Tanjung Medan sana sinyal tidak ada tapi ada semacam kertas password
yang harganya 5 ribu dan 10 ribu yang begitu dimasukkan tiba-tiba sinyal
nongol. Tidak bisa untuk menelpon dan SMS memang, tetapi untuk internet
silahkan pakai sepuasnya selama 1 hingga 3 jam sesuai yang tertera di kertas
itu.
Karena
internetnya nyambung, tentu WA dan FB manut saja. Selama yang berkuasa tidak
memblokir 2 makhluk ciptaan Jan Koum dan Mark Zuckerberg tersebut.
Maka
di abad 21 ini, di era revolusi industri 4.0 seperti yang dikemukakan Klaus
Schwab ekonom asal Jerman itu semua tanpa batas, semua begitu mudah. Apa yang
dulu tidak terbayangkan kini nyata dan wujud adanya.
Tidak
usah jauh ke belakang. Tahun 2006 saya mulai menetap di Pekanbaru, masuk kuliah
dan tinggal di jalan Delima, di rumah
etek.
Beberapa
kali saya yang masa itu belum punya Hp pergi ke Wartel untuk sekedar
menghubungi dosen dan kenalan lainnya.
Seingat
saya lebih kurang 2 tahun Warung Telekomunikasi itu telah tiada, tapi dengan pemiliknya
sampai saat ini masih kenal baik, sebab ia bekerja di perpustakaan Soeman H.S
dan pernah membantu organisasi mahasiswa mendapatkan hibah buku.
Di awal-awal
kuliah juga saya masih sempat bersentuhan dengan disket (floppy disk) yang
ukurannya 5 ¼ inci (133 mm) dan 3 ½ inci (90 mm). Di sini saya
menyimpan tugas-tugas dan nanti diprint di tempat rental komputer.
Disket
hilang, tidak dipakai, ribet, mulailah beralih ke flashdisk. Nah, masa flashdisk
ini ngetrent si pemiliknya merasa bangga bila dikasih tali pada ujungnya yang
berlubang, lalu tali tersebut digantungkan ke leher dan flashdisknya dimasukkan
ke kantong banju. Tidak mahasiswa tidak dosen. Keren dan terkesan intelek.
Belakangan
saya ndak pernah lihat lagi musim itu di kampus.
Termasuk
sekarang ini hampir tidak ditemukan lagi warnet, kecuali untuk sekedar main
game. Namun untuk mencari informasi orang cukup menggegam Hp-nya dan tenggelam
di tengah keramaian sekalipun.
Saya
bila mau mengeprint tugas sekarang ini tidak perlu membawa disket atau
flashdisk lagi, cukup mengirim lewat wa atau bluetooth.
Beberapa
waktu lalu buku yang akan saya terbitkan saya minta masukan dari pakar sejarah
lewat pesan wa, kemudian kita berkomunikasi via telepon pada bagian-bagian yang
tertentu saja.
Beberapa
kali saya menggagas diskusi literasi via grup wa dengan mengundang para penulis.
Lain waktu saya pula yang diajak sebagai pembi-chat pada diskusi-diskusi
lainnya. Lintas kota, Provinsi, bahkan negara.
Guru
saya bapak Promadi, Ph.D bercerita di fb-nya bahwa terhalang waktu yang sempit
untuk perkuliahan, sementara mesti menuntaskan pertemuan dengan mahasiswanya.
Maka ia merekam dirinya menyampaikan materi, dikirim ke grup wa dan terjadilah
diskusi.
Terakhir
berapa hari lalu, saya bingung mencari tugas hadits yang mesti ditemukan sanadnya
dan berada di kitab siapa, serta di jilid dan halaman berapa.
“Tu
mancai sambie culiek iduong bau du,” demikian kata guru dan teman saya Alfitri sambil
mengirimkan web dimana tugas itu berada. Dan tak lupa ditutupnya dengan emoji
tertawa, atau mungkin juga menertawakan saya.
0 komentar: