![]() |
foto: my child Sulthonul Hakim |
“Sebuah
buku adalah dunia ajaib penuh simbol yang menghidupkan kembali si mati dan
memberikan hadiah kehidupan yang kekal kepada yang masih hidup. Sungguh tak
dapat dibayangkan, fantastis, dan “ajaib” bahwa kedua puluh enam huruf dalam alfabet
kita bisa dipadukan sedemikian rupa sehingga bisa memenuhi rak raksasa dengan
buku-buku dan membawa kita ke sebuah dunia yang tak pernah berujung.”
Demikian
tulis Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup – dua penulis kenamaan yang berasal
dari Norwegia – menggambarkan betapa sebuah buku penuh misteri dan keajaiban
dalam novel kolaborasi mereka berdua, yang berjudul “The Magic Library.”
Membaca
buku memang membuka sekat wilayah dan waktu. Tidak ada lagi teritorial yang
menghalangi kita untuk datang dan hadir di sana. Bahkan dengan mereka yang
telah pergi sekalipun menemui Tuhannya puluhan, ratusan, atau ribuan tahun silam.
Begitu pun bagi mereka yang ingin bertemu dengan generasi yang jauh di
bawahnya, maka menuliskan sebuah buku adalah merencanakan pertemuan terbaik yang
penuh keakraban.
Kapan
kita pernah (umumnya orang) mengunjungi Taj Mahal? Sebuah monumen yang
fantastis di Agra, India sana. Namun lewat novel John Shors “Taj Mahal, Kisah
Cinta Abadi” kita seperti ikut dalam proses pembangunannya, menyusuri setiap
relief dan ornamennya, terlibat dalam intrik dan konflik, serta menikmati hidup
dan keagungan cintanya.
Sementara
buku-bukunya Coelho Paulo mengajak kita untuk plesiran ke Rio de Jeneiro,
Brazil sana. Buku-buku mendiang Najib Kailani, Naguib Mahfouz, dan Nawal el
Saadawi mengundang kita bertandang ke Bumi para Nabi dan mengikuti setiap ritme
sejarah pemimpin dan rakyatnya. Begitu pun dengan buku-buku otobiografi Lee
Myung-Bak (mantan presiden Korea Selatan) “Gerobak Lee Mbung-Bak”, Barack Obama
“Dreams from My Father”, BJ. Habibie “Habibie dan Ainun” seperti menjamu kita
masuk ke rumah-rumah mereka dan belajar tentang berbagai kearifan hidup.
Buku
jugalah yang bisa mempertemukan kita kembali dengan Hamka, merasakan getaran
keteguhan perjuangannya dan menikmati dalamnya nalar kesusasteraan. Bersua bung
Karno, Agus Salim, Natsir dan tokoh-tokoh bangsa lainnya. Perbedaan zaman dan
waktu telah menceraiberaikan kebersamaan kita dengan mereka, namun buku
merumahkan kita kembali.
Dan
bagi saya pertemuan intelektual adalah pertemuan tertinggi manusia. Kita boleh
jadi tidak ditakdirkan menjadi anak-anak biologis para tokoh-tokoh tersebut,
namun dengan membaca buku-buku mereka kita sedang menyatukan diri dalam setiap
lesatan pikiran dan detakan hati-hati mereka. Adakah kedekatan melebihi itu?
Seorang
pembaca adalah seorang yang terus berupaya menguak setiap batasan tempat dan
waktu. Sepertinya mereka sendiri, namun sejatinya mereka berada di tengah
keramaian dan hiruk pikuk manusia di sepanjang peradaban.
“You're
never alone when you're reading a book.” Demikian Susan Wiggs menegaskan.
Baca Juga:
Membangun Kemanusiaan
Membangun Kemanusiaan
0 komentar: