Visitors

Ada kelegaan rasanya begitu selesai DM 2. Kelegaan karena mengikuti setingkat lagi jenjang pengkaderan dalam organisasi ini. Bukan lagi ber...

Sepuluh Tahun Bersama KAMMI (bagian 16)

Ada kelegaan rasanya begitu selesai DM 2. Kelegaan karena mengikuti setingkat lagi jenjang pengkaderan dalam organisasi ini. Bukan lagi berada di tepi gelanggang, namun telah merangsur ke tengah, ibarat bersampan telah berkayuh ke ketengah lautan dan siap menghadang kecil besarnya gelombang. Walaupun pada sisi lainnya kenaikan tingkat dalam organisasi ini adalah kesiapan diri untuk memikul beban amanah yang lebih besar lagi dari sebelumnya.

Beberapa hari menjelang kembali ke Pekanbaru saya sempatkan mencari beberapa buku di Palasari dan beberapa toko buku lainnya. Walaupun di hari-hari sebelumnya (sejak dari Jakarta) beberapa buku telah saya koleksi. Dan total ketika kembali saya membawa 2 dus buku kotak Mi Instan, ditambah lagi yang ada di dalam tas.

Sementara membeli baju atau celana tidak ada. Belakangan saya coba mengingat kembali kenapa tidak membeli pakayan, padahal tentu juga lebih murah ketimbang di Pekanbaru, jawabannya memang betul-betul tidak ingat untuk membeli hal tersebut. Apakah seperti ini yang dirasakan bung Hatta puluhan tahun silam? Yang ketika kembali dari studinya dari Nederland sana hanya membawa 16 peti buku dan ditambah 1 peti pakayannya. Allahu ‘alam. Hanya terakhir sebelum pulang sempat saya bertukar jaket KAMMI dengan saudara Syamsudin Kadir, dan itulah satu-satunya pakayan yang asing yang saya bawa ke Pekanbaru.

Kepulangan ke Riau saya kembali harus naik bus dari Bandung ke Jakarta. Beberapa kader KAMMI bandung sempat mengantarkan ke Terminal, maklum di antara peserta lainnya sayalah yang berasal dari seberang pulau. Dan pernah saya tanya baik di forum KAMMI atau yang lainnya, dari survei kecil-kecilan itu ternyata lebih sering orang diluar pulau Jawa yang ke sana ketimbang mereka yang ke pulau-pulau kita (daerah). Ya, mungkin karena Jakarta sebagai ibu kota terletak di sana.

Sesampainya di Jakarta saya sempatkan dulu silaturrahim ke kantor redaksi majalah Tarbawi. Majalah ini sebenarnya baru saya kenal setelah di Pekanbaru, tidak seperti Annida dan Sabili yang memang sudah berlanganan semasa di pesantren. Dan di majalah Tarbawi ada satu tulisan yang langsung saya incar megitu mendapatinya – seperti mengincar Catatan Pinggirnya Goenawan Mohamad di Tempo – dan tulisan itu adalah tulisannnya Muhammad Anis Matta. Di waktu yang lain saya akan ceritakan bahwa tulisan beliau ini satu dari beberapa tulisan (penulis) yang lain yang sangat saya gemari.

Tidak lama di kantor redaksi majalah Tarbawi, hanya berdiskusi sejenak (tepatnya mungkin bertanya) tentang ini dan itu. Berikutnya target saya adalah ke majalah Sabili, tetapi tidak kesampaian, karena bus harus sudah berangkat.

Lorena – menurut saya bus ini di masa itu relatif lebih nyaman – adalah bus pilihan untuk kembali menempuh jalan pulang lebih kurang 3 sampai 4 hari ke depan. Ingin rasanya mencoba naik pesawat, cuma apalah daya tangan tak sampai. Dan pada tahun-tahun berikutnya keinginan itu bisa dilunasi.

Meninggalkan Bandung
Meninggalkan Jakarta
Meninggalkan tanah Jawa
Meninggalkan masa lalu

***

0 komentar: