Visitors

"Lelap terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap, sehingga hanya kulit tersisa ...

Fisik, Pikiran dan Jiwa

"Lelap terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia

Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap, sehingga hanya kulit tersisa
Siapa pula tak memuji sapi dan kerbau?
Orang dapat menyuruhnya kerja dan memakan dagingnya
Tapi kalau mereka tahu hak-haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena tidak mau ditindas
Bahasamu terpuji halus di seluruh dunia, dan sopan pula
Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain menegurmu dalam bahasa ngoko
Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang ajar"


Inilah di antara tulisan yang lebih berbentuk puisi yang ditulis oleh De Ongekroonde van Jawa (Raja Jawa tanpa mahkota) HOS Cokroaminoto yang dimuat di majalah Doenia Bergerak pada tahun 1914, majalah ini terbit sekali seminggu di Surakarta-Jawa Tengah.

Disamping seorang orator yang ulung - yang menurut Bung Karno adalah inspirator baginya untuk pula berpidato, bahkan Bung Karno bercerita bahwa dia belajar pidato tidak ada teori-teorinya, tidak ada cerminnya, karena itu HOS Cokroaminotolah segalanya - beliau juga piawai dalam menulis.

Puisi ini di antaranya, yang kembali dimuat dalam seri buku Tempo "Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa."

Menolak ketertindasan adalah jalan hidup yang ditempuhnya, bahkan gelar Raden yang biasa dipakai oleh kaum priyayi ia lepaskan dan ia menyatu dengan rakyat biasa.

Lihatlah bagaimana potongan-potongan puisinya, yang tidak saja meluahkan kata-kata, tetapi setiap diksinya menyimpan bara.

"Lelap terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia
Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap, sehingga hanya kulit tersisa"


Ia mengingatkan anak bangsa untuk segera bangun, bukan bangun dalam artian matanya melek dari tidur semalam, namun "bangun" di sini segerahlah sadar, buka pikiran, rapatkan barisan, gerakkan perlawanan pada kaum penjajah. Walaupun HOS Cokroaminoto sendiri memilih jalan kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda, namun itu caranya.

"Siapa pula tak memuji sapi dan kerbau?
Orang dapat menyuruhnya kerja dan memakan dagingnya
Tapi kalau mereka tahu hak-haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena tidak mau ditindas"

Memang sapi dan kerbau dipuji karena fisiknya gemuk, kuat bekerja, dan sebagian diperah susunya. Namun manusia tidak, manusia dipuji bukan karena fisiknya semata, tetapi otak dan pikirannyalah. Karena itu bagi penjajah dan bagi penguasa otoriter rakyat 'dilarang' berpikir. Itu sebabnya pada level-level tertentu sekolah-sekolah hanya diperuntukkan bagi kaum mereka sahaja, dan sedikit pribumi (anak-anak pejabat).

"Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain menegurmu dalam bahasa ngoko
Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang ajar"


Sempurna sudah penindasan, fisik, pikiran dan jiwa. Begitu kita hanya diperbolehkan hanya menggunakan kosa kata tertentu, sementara penjajah bebas sebebas-bebasnya bicara, maka jatuh sudah harga diri.

Dalam demokrasi pada dasarnya kita bebas berbuat apa saja atau melakukan apa saja. Tinggal nanti kebebasan kita jangan sampai mengganggu kebebasan orang lain. Atau hak kebebasan kita dibatasi oleh hak kebebasan orang lain. (Wamdi
)

0 komentar: